Selasa, 30 Agustus 2011

maaf dalam diam..

sudah begitu lama sejak terakhir aku menggoreskan tinta di halaman ini. Mengapa kehilangan sesuatu (atau seseorang) bisa memaksa jari-jari ini untuk menulis lagi?? Ini seperti cara kerja hormon adrenalin pada tubuh ketika ada kebakaran misalnya. Banyak orang yang tidak menyangka sebelumnya jika ia mampu mengangkat sebuah kulkas satu pintu seorang diri, sampai ketika melihat rumahnya atau kerabatnya hampir habis dilalap api. Kekuatan itu tiba-tiba muncul entah dari mana. Hari ini pun aku agak sedikit heran melihat kata-kata mengalir lebih deras dibandingkan masa-masa menulis sebelum ini. Itu karena rasa sakit kehilangan.

Tapi hari ini aku harus menghapus beberapa paragraf yang sudah kutuliskan, adrenalin itu lalu dikalahkan oleh sebuah keraguan sisa pembicaraan kemarin. Ya, aku masih ingat dengan jelas setiap kata yang terucap. Kita berdua tersakiti oleh ego yang tak kenal ampun. Kita pun menyerah, dan sepi kembali menemani. Mari melihat ke dalam diri, mari saling memaafkan. Semua kata dan laku yang menyakiti harap dibuang jauh dari kenangan, semoga waktu mempertemukan kita dalam kebaikan.

Maafkan aku yang mengucap ini dengan ikhlas, dari sudut jiwa yang terdalam. Karena hanya tempatmu yang ada di sana. Entah sampai kapan, kita lihat saja nanti.

idul fitri 1432H, rabu 31 Agustus 2011, 1.58 pm.

Rabu, 23 Februari 2011

Dari Jam Tidur Sampai "Nasi Kuning"

Era pulang pergi lintas kabupaten setiap hari dari rumah ke tempat kerja, sudah berakhir.

Sejak dua minggu lalu, aku dan temanku Tati mengakhiri kebiasaan penuh resiko keselamatan dan ancaman kesehatan itu. Sebelumnya, setiap hari kerja kami berangkat pagi-pagi sekali dari rumah di Kota Watansoppeng menuju Kota Sengkang dengan jarak tempuh total 80 km lebih. Kami berdua tidak terlalu memikirkan apa yang menjadi komentar orang-orang mengetahui dua perempuan muda berboncengan lintas kabupaten untuk menjalankan kewajiban mereka sebagai abdi negara selama 6 hari dalam seminggu. Lebih dari 3 jam per hari kami habiskan di atas motor matic berusia 3 tahun milik Tati.

Sebelum setengah 7 pagi aku sudah harus siap menunggu Tati menjemput. Meskipun kadang Tati yang justru harus menunggu ku karena gerakanku yang sedikit lebih lambat di pagi hari. Tapi jika memaksakan diri terburu-buru, tidak jarang aku lupa membawa salah satu barang. Pernah sekali waktu aku lupa membawa hp dan hasilnya, komunikasi ku lumpuh selama jam kantor. Untunglah aku bukan gadgetmania yang hidupnya tergantung pada gadget seperti telepon selular.

Aku suka perjalanan di pagi hari dengan duduk di bonceng di atas motor. Udara dingin sekitaran Kabupaten Soppeng selalu saja mampu menusuk hingga begitu terasa di tempurung lutut. Jaket tebal lah sebagai penolong menembus hawa dingin dan jalanan yang tak jarang masih terselimuti kabut. Di siang hari dalam perjalanan pulang, kenikmatan di pagi hari dibalas dengan teriknya sinar matahari yang pelan-pelan merayap menyakiti permukaan kulit. Namun jika hari diguyur hujan, butuh sedikit lebih banyak ketahanan dan tentu persiapan. Tapi itu bukan masalah besar, aku dan Tati masing-masing sudah memiliki jas hujan, bahkan dengan warna yang sama, shocking yellow!!! :)

Tapi kami harus mempertimbangkan lebih jauh lagi mengenai kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja timbul setelahnya, kesehatan terutama. Dalam jangka pendek mungkin saja dampaknya tidak terlihat jelas, tapi efek jangka panjanglah yang kami khawatirkan. Kami memutuskan untuk menyewa kamar kost yang dibayar perbulan untuk kami tempati bersama. Selama dua minggu ini aku dan Tati berbagi tempat tinggal di sebuah tempat kost di kota sutera itu. Kamarnya sederhana, bahkan kamar mandinya ada di luar beberapa meter dari kamar kami. Fasilitasnya harus kami bawa atau beli sendiri. Tempat kost kami sekarang memang letaknya cukup strategis, tepat di tepi jalan masuk ke Kota Sengkang. Bangunannya masih baru dan desain moderen ala minimalis. Mungkin itu alasan pemiliknya mematok harga yang lebih tinggi dari beberapa tempat lain.

Kami merasa kamar kost sudah cukupdan belum perlu untuk mengontrak satu rumah, karena selain hari Sabtu kami pun pulang ke Soppeng pada hari Rabu. Dua kali seminggu kami meninggalkan kota Sengkang dan pulang ke Soppeng membawa baju-baju kotor yang siap dicuci gratis di rumah sendiri, solusi penghematan lainnya. Praktis, jika dihitung-hitung rata-rata kami hanya empat hari saja menempati kamar kost dalam seminggu.

Beberapa keuntungan menetap di kota yang sama dengan tempat kerja sesungguhnya lebih banyak ke arah materi. Tidak perlu banyak-banyak mengeluarkan ongkos untuk pergi dan pulang dari kantor. Kami pun punya kompor gas sendiri untuk mengolah bahan-bahan mentah dan setengah jadi untuk kami makan sehari-hari, otomatis biaya masak sendiri jauh lebih murah dari pada beli. Tapi efek paling signifikan bagiku pribadi adalah bertambahnya intensitas untuk memanjakan diri dengan tidur. Di sana tidur siang hampir jadi rutinitas, kecuali jika jadwal memancing tiba. Tidur malam pun bisa sampai 7 atau 8 jam. Itulah yang dibutuhkan tubuhku ini, pemenuhan jadwal tidur untuk menebus hutang-hutang tidur sebelumnya. Mungkin saja bisa mengurangi lingkaran hitam dari sindrom mata panda yang menghiasi wajahku.

Namun selama di tempat itu, air bersih yang seharusnya selalu kami gunakan, hanya bisa kami nikmati dari pagi hingga siang hari. Selebihnya kami harus menggunakan air sumur bor yang menurutku tidak akan lolos uji kelayakan air bersih dinas kesehatan. Jika dipakai berkumur saat menyikat gigi, akan timbul rasa aneh di dalam mulut. Belum lagi air nya yang cenderung berwarna kekuningan. Beberapa hari lalu kami lupa menyisihkan air bersih untuk mencuci beras dan memasak nasi, Terpaksa menggunakan air sumur bor untuk aktivitas itu. Begitu nasi matang dan tutup ricecooker dibuka, maka jadilah "nasi kuning" yang siap disantap.
 
Masalah lainnya adalah, bagi kami harga sewa perbulan di tempat berdesain minimalis itu termasuk mahal. Pendapat rekan kerja pun tidak berbeda, mereka menyarankan tempat kost lain atau pun menawarkan kami mengontrak rumah saja. Tekad kami untuk pindah kost pun sudah bulat sebulat-bulatnya. Syukurlah salah seorang rekan kerja ku menemukan sebuah tempat yang memiliki fasilitas kamar lumayan lengkap dengan harga yang masuk akal.


Kami, aku dan Tati, hanyalah anak perempuan seseorang. Anak perempuan dari orangtua yang selalu mengkhawatikan kami meski tidak sering mereka ucapkan. Cukup mereka ungkapkan dengan membiarkan kami beristirahat sepuasnya jika kami tiba dari kantor, mengingatkan kami menyiapkan barang-barang untuk keesokan harinya, ataupun sekedar memasakkan kami makanan kesukaan untuk bekal menginap di Kota Sengkang. Tapi itu cukup membuat kami mengerti bahwa pilihan kami untuk menetap di kota tempat kerja sudah tepat. Mereka tidak perlu lagi terlalu mengkhawatirkan kami dalam perjalanan dan tentu kami bisa lebih fokus bekerja dengan ketepatan waktu yang lebih baik.

Keputusan kami itu pun membawa kami bertemu dengan hobi baru yang diperkenalkan rekan kerja ku. Hobi yang bisa membuat waktu terasa berlalu lebih cepat, dan kebosanan yang biasanya melambatkan jarum jam perlahan bisa kami taklukkan. Meski sekali-sekali harus mengorbankan tidur siang yang menggiurkan, namun sama sekali tidak membuat kami merasa rugi. Kami lebih dekat dengan alam, serta ada kepuasan tersendiri yang sanggup melapangkan jiwa dan menenangkan hati. Besok akan ada sesi berikutnya, dan kami akan ada di sana di tepi sungan dengan joran pancing kami masing-masing :)

Selasa, 01 Februari 2011

The Final Results

Hari ini, tepat dua hari hari setelah partai terakhir dari turnamen Australian Open 2011 dipertandingkan. Setelah dua minggu lamanya, para petenis dunia yang berkumpul di Melbourne menjalani ujian berat bagi mental dan fisik mereka. Turnamennya telah usai, tapi meskipun begitu jika kebetulan channel tv yang ku kendalikan lewat remote-control melewati StarSports, masih saja tayang siaran ulang partai-partai besar dari ajang tersebut.

Sekali waktu aku tidak begitu menghiraukannya sama sekali, langsung ke channel berikutnya. Tapi di lain waktu, aku tidak akan memainkan remote-control dan berhenti untuk menikmati kembali momen-momen ajaib itu. Meski hasil akhir pertandingan sudah ku ketahui, tapi permainan para jawara tenis ini bisa menyihir penontonnya dan kau hanya bisa menatap kagum kemampuan mereka di lapangan. Berlari dari sudut yang satu ke sudut lainnya, dari belakang baseline hingga berusaha menjangkau bola-bola sulit di dekat net, mengayunkan raket di antara kedua kaki, bahkan forehand smash keras membuat seakan-akan mereka melayang. Tidak jarang ada yang harus jungkir balik ketika berusaha menjangkau bola, atau seperti Kim, sebelah tangan mengayun raket, sebelahnya lagi bertumpu di lapangan menahan berat tubuh pada posisi hampir split.

Hari Sabtu lalu, partai final tunggal putri digelar. Sore hari waktu Indonesia, di Melbourne sudah menunjukkan jam 7 malam. Pengaruh letak benua kangguru ini terhadap garis khatulistiwa menyebabkan malam hari itu cakrawala masih diterangi dengan semburat merah-jingga matahari. Dari pandangan lewat layar kaca, akan sulit menemukan bangku kosong di antara lautan penonton dalam Rod Laver Arena. Suasana ini bahkan makin menggila ketika partai final tunggal putra digelar esok harinya (Minggu).

Di depan tv, Bapak terlihat sangat serius menantikan final tunggal putri ini. Ia sepenuhnya bersemangat dan mendukung Li Na, petenis Cina yang masuk ke babak final. Perempuan berusia 28 tahun ini hebat, berhasil mencatat sejarah sebagai satu-satunya petenis Asia yang menembus final grandslam ( di antara semua petenis Asia tunggal putra dan tunggal putri ). Li dilatih oleh suaminya, yang di setiap pertandingan tidak pernah ketinggalan hadir dan menjadi pendukung setia sang istri.

Baru belakangan ini nama Li Na semakin sering diperbincangkan. Ia sejatinya telah memenangkan banyak gelar di lever WTA Tour dan ITF. Namun ini adalah gebrakan besarnya menjadi finalis di sebuah grandslam. Bahkan hal seperti itu tidak sering-sering dialami petenis papan atas. Vijay dan Alan berkomentar "Sekitar 2 milliar orang sedang menantikan juara baru mereka", dan yang mereka maksud pastinya adalah para penduduk China.

Tapi mari kita lihat lawan Li Na di final. Seorang ibu yang pernah berniat untuk gantung raket, tapi kecintaannya pada dunia tenis membuat ia kembali dengan pesona yang sama di lapangan tenis. Ia mantan petenis nomor 1 dunia dari Belgia, Kim Clijsters. Saat ini Kim kembali mendominasi dengan beranjak ke posisi ranking 2 dunia di bawah Caroline Wozsniacki. Catatan gelar juara yang dikoleksi dalam rangkaian WTA Tour, baik sebagai pemain tunggal maupun ganda, telah banyak diraihnya. Tapi tahun ini ia akan berjuang merebut trofi Australian Open  pertamanya, setelah sebelumnya memenangi turnamen US Open sebanyak tiga kali.

Set pertama milik Li Na, diakhiri dengan cemerlang. Namun pengalaman mungkin jadi penyebab permainan Li yang gugup di set kedua. Kim mulai menggebrak pertahanan Li dengan lebih agresif. Secara meyakinkan, set kedua ditutup dengan kedudukan 1 set sama bagi kedua pemain. Akhirnya set penentu mempertemukan takdir dengan usaha keduanya. Kim masih lebih unggul daripada Li, setelah championship point ia raih dari pukulan Li yang membentur net gagal menyeberang ke bagian lapangan Kim. Sesaat terlihat Kim menunjukkan raut wajah penuh haru. Dan kemenangan itu ditutup dengan trofi juara tunggal putri yang diangkat tinggi-tinggi oleh Kim Clijsters, tentu dengan semakin banyak perhatian dan pujian bagi sang runner-up Li Na.
Esok nya, di waktu yang sama, final tunggal putra pun digelar. Jangan tanya lagi bagaimana antusiasme penonton di Rod Laver Arena. Partai tunggal putra memang sepertinya menyedot lebih banyak perhatian dari pada partai lainnya. Penonton punya ekspektasi tinggi bagi para petenis putra, mereka menantikan pertunjukan yang bukan hanya sekedar pertandingan olahraga, tapi juga hiburan yang membuat penonton berdecak kagum. Para pria ini sering memperlihatkan atraksi-atraksi mencengangkan, dan sering pula muncul nama-nama baru petenis pria dengan skill yang mumpuni.

Pada final kali ini, ada wajah yang tak asing dari turnamen yang sama tahun lalu. Ya, Andy Murray yang sedikit mirip dengan vokalis Coldplay, Chris Martin, tampil di babak final Australian Open dua tahun berturut-turut. Tahun lalu Andy dikalahkan Roger Federer, karenanya ia akan menjadi lawan yang berat bagi finalis lainnya. Ia semakin keras berjuang untuk mewujudkan harapannya di turnamen ini, dengan sang ibu yang setia menemani dan tak jarang melakukan standing applause untuknya. Di babak semifinal Andy berhasil memaksa David Ferrer untuk sejenak melupakan mimpinya maju ke final. Meskipun sebelumnya, David melangkah dengan mantap dan percaya diri setelah mengalahkan Rafael Nadal (rangking 1 dunia) dengan 3 set langsung, kali ini ia harus menunggu turnamen berikutnya untuk kesempatan lain.

Di sisi lawan, petenis rangking 3 dunia, Novak Djokovic memasuki lapangan dengan bahasa tubuh yang penuh keyakinan. Sorot mata yang tajam makin menegaskan ambisinya untuk meraih gelar juara di Melbourne untuk kedua kalinya. Petenis Serbia ini mungkin termasuk petenis paling "stabil" posisi rangkingnya dalam kurun waktu empat tahun terakhir. Permainannya yang agresif dan gemilang pun terbukti berhasil membawa Nole (sapaan akrab Novak) mengalahkan dua petenis hebat, Rafael Nadal dan Roger Federer, di beberapa kesempatan.

Pertandingan berjalan tidak terlalu cepat. Kedua petenis berusia 23 tahun ini ternyata saling menyerang dan bertahan dengan intensitas yang hampir sama. Game demi game ditamatkan dalam rata-rata waktu lebih dari 5 menit. Aku pun makin sulit beranjak dari depan tv, karena takut melewatkan serangan-serangan satu sama lain. Kuku tangan dan kaki ku hampir habis aku cabuti karena ketegangan berlebih menyaksikan tayangan itu. Tapi semakin lama, arah pertandingan ini hampir bisa terbaca. Novak tidak kehilangan satu set pun untuk tiba di final, dan begitu pula ketika berhadapan dengan Andy. Ia terus memimpin, meskipun Andy kadang mengejutkannya dengan serangan di sudut-sudut sulit.

Pendapat wartawan dan pengamat tenis mengenai berakhirnya era Federer-Nadal, malam itu sepertinya makin banyak yang mengamini. Novak Djokovic yang pada semifinal membuat Roger menyusul Rafa keluar dari turnamen dengan straight set akhirnya memenangkan pertandingan atas Andy Murray juga dengan straight set. Trofi juara tunggal putra Australian Open 2011 kembali dihiasi nama Novak Djokovic, seperti tahun 2008 lalu. Sayang sekali bagi Andy yang kembali tertunda kemenangannya di turnamen ini, dan yang pasti ia akan kembali.

Menutup tulisan ini, aku hanya bisa mengucapkan selamat bagi para juara. Baik bagi yang memegang trofi maupun yang belum sempat mengikuti jejak juara-juara sebelumnya, mereka semua layak. Bagi Andy, Li, maupun mereka yang tidak sempat menjejakkan kaki di final, semua hanya sebuah proses. Berusaha dengan tekad, usaha, pengorbanan, dan disiplin yang semaksimal mungkin, percaya atau tidak, seburuk apapun hasilnya akan semakin mendekatkan dengan predikat sebagai juara itu sendiri. It's just a matter of time !!! Beberapa bulan ke depan, grandslam berikutnya akan digelar di Paris. French Open 2011 jadi sebuah kesempatan kedua, and everyone deserves a second chance... So be prepare...

Selasa, 25 Januari 2011

Melbourne is On Fire !!!

"The heat is on", adalah slogan dari turnamen akbar di awal tahun ini, Australian Open 2011. bukan hanya warga Melbourne yang bersiap menyaksikan event grand slam pembuka ini. Aku pun merasa wajib menyisihkan waktu untuk mengikuti jalannya turnamen di benua tetangga ini.

Tapi bukan berarti aku akan terbang dengan salah satu armada Qantas Airlines menuju Melbourne. Aku hanya membutuhkan kotak kaca bernama TV dan jaringan siaran TV kabel untuk mengakses saluran StarSports.

Tahun lalu, sang Maestro tenis dari negeri keju, Roger Federer yang berhasil mengangkat trofi juara. Seperti yang kebanyakan orang ketahui, he is a living legend. Seorang legenda yang masih mengayunkan raketnya di usia 29 tahun dan di posisi rangking 2 dunia.

Meskipun banyak yang kini meragukan kemampuan seorang atlet tenis ketika usianya sudah berada di ambang 30, namun para fans setianya di mana-mana masih menaruh harapan besar di pundak the Fed-ex.

Namun, sang rival sejati justru bintangnya semakin bersinar. 9 gelar grand slam sudah di tangannya. Meski masih kalah jauh dengan koleksi Federer, 17 gelar, tapi Rafael Nadal mulai mendominasi sejak French Open 2010 lalu. Ia pun makin tak terbendung dengan merebut trofi Wimbledon 2010 yang diincar Roger untuk melengkapi gelar tersebut menjadi tiga kali berturut-turut (Roger juara di 2008 dan 2009). Rafa tidak puas sampai di situ saja. Kemenangannya di turnamen akbar penutup tahun 2010, US Open, semakin mengokohkan cengkeraman Espana Man ini di posisi rangking 1 dunia, yang sebelumnya jadi "langganan" Roger.

Tapi bagi kalian yang sama sekali tidak peduli dengan catatan head to head kedua petenis ini, that shouldn't be a problem!! Turnamen ini begitu "panas" nya hingga petenis lainnya yang ambil bagian juga banyak yang berhasil menampilkan permainan terbaik mereka. Sebut saja unggulan-unggulan atas seperti Murray, Berdych, dan Djokovic, yang malam ini tampil memukau di Rod Laver Arena. Meskipun disingkirkan Roger di Perempat Final, Stanislas Wawrinka  telah menundukkan unggulan lainnya, Andy Roddick dengan tiga set langsung hingga pertandingan tadi siang menjadi yang pertama mempertemukan dua petenis Swiss dalam Perempat Final grand slam. Tantangan berat sudah pasti mengintai dari grup seberang. Di mana telah bersiap Rafa dengan penuh ambisi, skill yang outstanding, dan attitude  yang sarat pujian belakangan ini.

Mungkin ada yang bertanya, what about the ladies?? Yah, turnamen ini sedikit kurang seru tanpa Serena Williams yang dirundung cedera berat. Alhasil Caroline Wozsniacki menduduki unggulan pertama, sekaligus menjadi rangking 1 dunia saat ini. Petenis usia 20 tahun dari Denmark ini belakangan memang selalu mengintai posisi Serena. Permainan fantastis nya dibuktikan siang ini dengan mengalahkan Francesca Schiavone, yang dua hari lalu baru saja melewati pertandingan petenis wanita terlama dalam grand slam (lebih dari 4 jam 40 menit). Francesca menekuk Svetlana Kuznetsova yang sebelumnya memupuskan harapan Justine Henin untuk melaju di turnamen ini.

Jujur saja Justine Henin dan Kim Clijsters favoritku di turnamen ini. Tapi sayang hanya Kim yang kini berpeluang dengan terus hingga ke Perempat Final, bersama beberapa unggulan lainnya. Seperti Vera Zvonareva yang semoga saja tidak mengikuti jejak Henin, tersingkir dari turnamen.

Meskipun para unggulan dan petenis papan atas tetap mendominasi, namun mereka yang berada di unggulan bawah pun banyak yang mampu menunjukkan "taringnya". Dengan mental nothing to lose, mereka justru dapat tampil dengan percaya diri dan bahkan memaksa lawannya mengakui kehebatan mereka.

Pada akhirnya, orang-orang ini adalah mereka yang telah berkomitmen dan memilih untuk mendedikasikan diri di lapangan. Bagiku mereka orang-orang hebat, yang fokus pada satu hal dan menjadi ahli dalam hal tersebut. Konsistensi dan kedisiplinan adalah kunci mereka untuk meraih apa yang mereka miliki saat ini.

Jadi mari duduk sejenak, pilih sofa ataupun posisi nonton favoritmu, siapkan cemilanmu, dan saksikan keajaiban-keajaiban terjadi dalam dunia tenis di turnamen ini bersamaku. Dalam beberapa hari ke depan, final akan mempertemukan mereka yang terbaik dari uji mental dan kemampuan ini. Kita akan lihat, apakah akan terjadi partai Fed-Dal (Federer vs Nadal), ataukah justru mereka yang tidak pernah terpikirkan yang memberi kejutan..?? So beware, because THE HEAT IS ON!!!

Minggu, 28 November 2010

selamat jalan Om Pendeta....


Kala itu waktu shalat magrib telah usai, dan kumandang takbir memenuhi langit malam kota kecil ini, ketika kudengar suara di ujung telepon mengabarkan duka di sana. 

Saat ini aku telah berdomisili kembali di kota kelahiranku selama lebih dari enam bulan, setelah bertahun-tahun mendiami ibukota propinsi untuk menuntut ilmu dan menulis kisah hidupku di sana. Meskipun awalnya itu berat kulakukan, karena banyak orang yang berarti buatku ada di sana. Namun, aku harus pulang, menemani orangtuaku dan menjalankan tanggung jawab sebagai abdi negara di kabupaten tetangga. 

Di kota Makassar orangtuaku memiliki sebuah rumah yang dibeli dari hasil tabungan bertahun-tahun. Itu memang salah satu niatan mereka, untuk memiliki sebuah rumah meski mereka saat ini bertempat tinggal di Watansoppeng di rumah kakek-nenek ku. Kata mereka, itu untuk aku dan adikku. Karena kuliahku telah selesai dan Tuhan memilihkan Kota Sengkang sebagai “sumber nafkah” ku, maka kota besar itu kutinggalkan. Sebentar lagi adikku akan meninggalkan seragam putih abu-abu nya dan menjajal dunia mahasiswa. Mungkin dia yang akan meneruskan perjuanganku di kota itu, atau mungkin ia punya arah yang lain.

Rumah yang kumaksud ini berada di salah satu kompleks perumahan yang baru dibangun, mungkin sekitar 4 tahun yang lalu. Berdampingan dengan perumahan lama yang tepat berada di tengah lokasi perumahan itu. Perumahan baru itu juga belum dijejali ratusan rumah seperti kompleks-kompleks lama. Sepertinya memang baru ada sekitar puluhan rumah di dalam sana. Rumah ku salah satunya. Tapi sayangnya rumah ini baru kutempati setelah aku lulus kuliah, tepat nya akhir 2008, jadi aku tidak sempat merasakan menempati rumah itu sebagai seorang mahasiswi.

Pertama kali melihat lokasi perumahan itu masih dua atau tiga rumah yang berdiri. Rumahku belum utuh selesai begitu pula rumah lainnya. Tapi tepat di depan rumahku, sudah ada satu yang telah berdiri dan bahkan ditempati penghuninya. Tetangga kiri kanan rumah itu belum pula rampung. Masih sangat sepi kala itu, aku sempat berpikir bagaimana bila nanti aku tinggal di sini, kalau tetangga ku hanya ada satu? Tapi setelah menempati rumah ku itu, ternyata banyak rumah di sekitar yang telah selesai dan sudah ada beberapa keluarga yang jadi tetanggaku.

Tetangga di depan rumahku itu ternyata sebuah keluarga kecil. Seorang ayah, seorang ibu, dan dua orang anak perempuan mereka. Setelah berkenalan, masing-masing mereka cukup kami panggil dengan sebutan Om, Tante, dan Ellen serta adiknya (lupa namanya siapa). Ternyata lagi, si Om satu kampung denganku, dia juga berasal dari Watansoppeng. Sedangkan Tante aslinya dari Sangir. Mereka semua ramah dan penuh senyum ketika bertemu dengan kami. Tutur kata kedua orang tua ini, khususnya Om, sangat sopan dan lembut. Kemudian, aku pun tahu kalau Om ini adalah pensiunan tentara yang juga seorang pendeta. Keluarga ini pun sempat memelihara seekor anjing dengan indera yang cukup sensitif hingga ia bisa menggonggong sepanjang waktu.

Tante sering membawakan kue atau roti buatannya untuk kami di rumah. Meski awalnya ada yang ragu untuk mencicipi, namun segera kami tepis, dan dengan niat bahwa penghargaan untuk pemberian seseorang itu sangat penting. Sering pula ketika bertemu di depan rumah, kami sekedar bercakap-cakap seadanya tentang keadaan saat itu, atau tentang keluarga mereka dan keluarga ku. Ketika Ellen menikah, kami sekeluarga (bapak dan mama khusus datang dari Watansoppeng untuk menghadirinya) serta beberapa tetangga datang ke hotel tempat acara itu berlangsung. Mengingat semua kebaikan dan keramahan keluarga ini, tidak ada alasan untuk tidak datang di acara tersebut.

Dan pada tanggal 16 November lalu, tepat ketika takbir menjelang Idul Adha berkumandang, sebuah kabar menyedihkan disampaikan sepupuku via telepon. Om Pendeta berpulang kemarin malam.  Entah karena sakit atau penyebab lain, yang pasti tidak akan ada lagi senyum dan sapaan ramah dari om pendeta. Tiba-tiba saja terlintas semua kejadian dalam memori ku yang mengingatkan pada Om Pendeta. 

Bagaimana seorang yang berbeda keyakinan, bahkan seorang pemimpin dalam kaumnya begitu menghargai orang lain. Tidak pernah tampak keraguan di mata seorang pendeta ini untuk menjalin hubungan yang baik dengan orang-orang di sekitarnya. Aku bisa langsung menebak, kalo Om Pendeta ini juga seorang Bapak penyayang yang penyabar bagi keluarganya, dengan tutur kata yang lembut dan menunjukkan kebijaksanaan.

Selamat jalan Om Pendeta, semoga semua kebaikan mu bisa dicontoh oleh banyak manusia di muka bumi ini. Di mana perbedaan buatmu bukan lah sebuah tembok pemisah, namun menjadi sebuah ruang untuk membuka hati bagi begitu banyak kebaikan untuk dibagi, tanpa syarat apapun......

Kamis, 11 November 2010

Bukan keturunan India


Saat menulis ini, sebenarnya kondisi ku masih seperti hari-hari kemarin. Kelelahan dan ngantuk berat. Tapi selalu saja sistem di tubuh ku melakukan sebuah kerja otomatis untuk menanggapinya, yaitu dengan melawan. hampir setiap saat kantuk datang, Hampir pula setiap saat itu aku menahan diri untuk tidak menurutinya. sebutlah aku keras kepala, bahkan pada kebutuhan ku sendiri pun aku begitu keras menahan diri.

Aku tahu ini sebuah gaya hidup yang tidak sehat. Bangun di pagi hari pukul 5.30, tanpa jadwal tidur siang, dan malamnya baru terlelap lagi di atas jam 11. Belum lagi perjalanan dengan dibonceng motor pulang pergi tempat kerja ku di kabupaten wajo dan pulang kembali ke kabupaten soppeng, dengan jarak total lebih dari 40 km. (terimakasih buat tati yang selalu setia menjemput dan mengantarkanku sampai di depan rumah. dia yang memboncengku dengan motor matic-nya, dengan perawakan badan yang tidak lebih besar dari badanku!!)

Setiap orang yang baru mengetahui kenyataan bahwa setiap hari aku harus menempuh perjalanan lintas kabupaten untuk menuju ke tempat kerja, rata-rata mengeluarkan ekspresi yang hampir sama. Mereka terkejut dan merasa itu hal yang hampir mustahil untuk dilakukan setiap hari oleh seorang perempuan. Mereka iba, khawatir, dan bahkan terkadang menjadi dramatis meskipun sebenarnya bukan maksud mereka seperti itu.

Kebanyakan orang di kantor telah mengetahui hal ini. saran mereka hanya satu. Cari tempat kost di sana. Tapi itu masih jauh dari pikiranku. Bukan hanya karena mengurusi kakek semata wayang ku, tapi karena menurutku masih ada pilihan lain untuk menjalani rutinitas ini. Tetap tinggal di kota asal ku bersama keluarga tentu jauh lebih menyenangkan dan menenangkan, dibanding harus tinggal di tempat baru dan mengorbankan itu semua.

Bukannya aku belum pernah tinggal di tempat yang asing dan belum aku kenal. 7 tahun lalu aku memulai hidup sebagai mahasiswa di kota makassar. Suasana yang ramai dan teman-teman yang menyenangkan tidaklah membuatku merasa asing lagi. Lain halnya dengan tempat kerjaku, yang tentu tidak semua orang bisa menyenangkan diajak lucu-lucuan dan bercanda ngalor ngidul. Lingkungan kerja adalah lingkungan yang serius, meski beberapa di antaranya tetap berusaha membuat suasana kantor tidak sekaku kesannya.

Sejak memulai status pegawai pemerintah 6 bulan yang lalu, sampai saat ini ada yang aneh tiap aku bercermin. Bukan karena kulitku yang makin hitam dan berjerawat akibat kebingungan sel untuk menyesuaikan antara dua kota dengan cuaca yang cukup berbeda tiap harinya. Tapi karena daerah kedua mataku yang dihiasi oleh lingkaran hitam yang semakin jelas dari hari ke hari. Iklan kosmetik di tv menyebutnya sebagai sindrom "mata panda". Analogi yang tepat, karena mata panda memang memiliki lingkaran hitam lebat di sekelilingnya. Tapi ini bukan karena aku memiliki darah keturunan India yang kebanyakan memang punya lingkaran hitam di daerah sekitar mata. Hidung pun sama sekali tidak mirip dengan hidung orang-orang yang membintangi film-film bollywood. Hanya warna kulit gelap ku yang hampir serupa.
Respon sistem dalam tubuh ku yang cenderung melawan rasa lelah dan kantuk, bukannya menuruti mereka untuk segera beristirahat dan tidur lelap di atas kasur empukku, menjadi tersangka utama lingkaran hitam yang muncul semakin jelas itu. Kali inipun mataku terasa menggantung beban yang berat, tapi tetap kulawan dengan sekuat tenaga. Malam masih muda, belum waktunya untuk tidur.Tapi tetap selalu ada janji untuk belajar tidur lebih awal esok malam, meski janji itu lebih sering tak kutepati demi alasan-alasan yang tidak terlalu jelas.

Kamis, 14 Oktober 2010

pelukan itu dari tanganku sendiri

saat ini hari sedang senja. Matahari tanggal 14 oktober sebentar lagi akan menyerah pada malam yang pelan-pelan merayap. Gelap sudah ada di langit timur sedari tadi, sedang berusaha menyusul ke langit barat dan akhirnya menggelapkan langit belahan bumi yang kupijak. Seperti kata sebuah lagu bugis, "labuni ro esso e, turunni uddani e", bagi ku senja memang mampu menggoreskan emosi lebih dalam seperti jingga yang tergores di antara awan. Bukan hanya kerinduan, tapi senja mampu membuka hati lebih luas untuk lebih banyak perasaan dan emosi di dalam jiwa.

Ini membawaku pada tanya yang sebenarnya sudah lama bersarang dan menggelapkan sebagian sisi pikiran ku. Apakah ada orang yang betul-betul menyayangi ku dengan seluruh jiwanya ? Kusadari, sungguh ini sebuah pertanyaan yang egois. Jika ini coba kau tanyakan pada seseorang yang kau kenal, contohnya temanmu, kebanyakan dari mereka akan berusaha meyakinkan mu bahwa mereka sayang padamu. Bahwa itu hanya pikiran negatif mu saja yang sama sekali tidak benar. Tentu itu sangat tidak salah dilakukan oleh seorang teman. Bahkan mereka bukanlah teman sejati jika melakukan sebaliknya.

Tapi, pertanyaan yang akan muncul setelahnya adalah, jika mereka memang menyayangiku, mengapa aku merasakan hal yang lain? Bukankah rasa sayang dan rindu itu dua hal yang hampir menyerupai ? Yang seperti kata sebagian orang, jika kamu merindukan seseorang maka akan lebih besar kemungkinannya orang itu juga sedang merindukanmu, atau setidaknya saat itu sedang ada kamu dalam pikirannya walaupun itu cuma sekedar sepintas.

Malam semakin menua. Masih ada aku di sini, hanya bersama pikiranku. Melihat jauh ke belakang apa yang sebenarnya terjadi. Dengan siapa saja aku telah menjalani seperempat abad usia. Adakah hal berarti yang telah aku lakukan setidaknya untuk diriku sendiri. Dan jutaan pertanyaan lain yang lebih banyak gagal untuk kutemukan jawaban yang pas. Aku dan orang-orang lain, ribuah wajah yang pernah singgah, hanya lewat, ataupun masih ada dalam catatan perjalanan hidupku. Mereka bukan tokoh fiksi, mereka nyata. Tapi tetap saja aku merasa sendiri.

Dulu aku sering meluangkan banyak waktu untuk mendengarkan banyak hal yang menghuni pikiranku. Itu banyak menolongku untuk sedikit mengatasi sepi. Tapi ketika aku coba membawa diri ke tengah keramaian orang-orang, aku justru tersesat. Petunjuk mulai kabur dan samar, karena aku sulit mendengarkan pikiran ku sendiri. Orang-orang ini terlalu banyak, terlalu ramai. Tapi pelan-pelan aku mulai sedikit mengabaikan hal-hal dalam pikiranku yang sedikit-sedikit mulai ditenggelamkan keramaian dunia di luar diriku. Itu membuatku mulai mengenal orang-orang lain. Aku pun mulai meyakini, ini akan menjadi lebih baik.

Tapi dunia berputar terlalu cepat dengan banyak orang di dalamnya. Aku pun tidak merasakan setiap kenangan dapat kurekam dengan baik. Akhirnya sebuah titik membawaku kembali menjauh dari keramaian itu. Aku sedikit lega karena aku kembali bisa mendengarkan pikiranku. Banyak hal yang harus aku pahami. Ini waktu yang tepat untuk bertanya dan melihat kembali siapa sesungguhnya yang betul-betul sayang padaku. Karena semakin cepat waktu berputar bersama dunia, semakin sulit kita membedakan kenyataan dan yang semu. Semua itu membutakan. Dan ketika kudengarkan kembali pikiranku, ia menyuruhku untuk memeluk diriku sendiri, sebelum jawaban dari pertanyaan itu kutemukan...