Minggu, 28 November 2010

selamat jalan Om Pendeta....


Kala itu waktu shalat magrib telah usai, dan kumandang takbir memenuhi langit malam kota kecil ini, ketika kudengar suara di ujung telepon mengabarkan duka di sana. 

Saat ini aku telah berdomisili kembali di kota kelahiranku selama lebih dari enam bulan, setelah bertahun-tahun mendiami ibukota propinsi untuk menuntut ilmu dan menulis kisah hidupku di sana. Meskipun awalnya itu berat kulakukan, karena banyak orang yang berarti buatku ada di sana. Namun, aku harus pulang, menemani orangtuaku dan menjalankan tanggung jawab sebagai abdi negara di kabupaten tetangga. 

Di kota Makassar orangtuaku memiliki sebuah rumah yang dibeli dari hasil tabungan bertahun-tahun. Itu memang salah satu niatan mereka, untuk memiliki sebuah rumah meski mereka saat ini bertempat tinggal di Watansoppeng di rumah kakek-nenek ku. Kata mereka, itu untuk aku dan adikku. Karena kuliahku telah selesai dan Tuhan memilihkan Kota Sengkang sebagai “sumber nafkah” ku, maka kota besar itu kutinggalkan. Sebentar lagi adikku akan meninggalkan seragam putih abu-abu nya dan menjajal dunia mahasiswa. Mungkin dia yang akan meneruskan perjuanganku di kota itu, atau mungkin ia punya arah yang lain.

Rumah yang kumaksud ini berada di salah satu kompleks perumahan yang baru dibangun, mungkin sekitar 4 tahun yang lalu. Berdampingan dengan perumahan lama yang tepat berada di tengah lokasi perumahan itu. Perumahan baru itu juga belum dijejali ratusan rumah seperti kompleks-kompleks lama. Sepertinya memang baru ada sekitar puluhan rumah di dalam sana. Rumah ku salah satunya. Tapi sayangnya rumah ini baru kutempati setelah aku lulus kuliah, tepat nya akhir 2008, jadi aku tidak sempat merasakan menempati rumah itu sebagai seorang mahasiswi.

Pertama kali melihat lokasi perumahan itu masih dua atau tiga rumah yang berdiri. Rumahku belum utuh selesai begitu pula rumah lainnya. Tapi tepat di depan rumahku, sudah ada satu yang telah berdiri dan bahkan ditempati penghuninya. Tetangga kiri kanan rumah itu belum pula rampung. Masih sangat sepi kala itu, aku sempat berpikir bagaimana bila nanti aku tinggal di sini, kalau tetangga ku hanya ada satu? Tapi setelah menempati rumah ku itu, ternyata banyak rumah di sekitar yang telah selesai dan sudah ada beberapa keluarga yang jadi tetanggaku.

Tetangga di depan rumahku itu ternyata sebuah keluarga kecil. Seorang ayah, seorang ibu, dan dua orang anak perempuan mereka. Setelah berkenalan, masing-masing mereka cukup kami panggil dengan sebutan Om, Tante, dan Ellen serta adiknya (lupa namanya siapa). Ternyata lagi, si Om satu kampung denganku, dia juga berasal dari Watansoppeng. Sedangkan Tante aslinya dari Sangir. Mereka semua ramah dan penuh senyum ketika bertemu dengan kami. Tutur kata kedua orang tua ini, khususnya Om, sangat sopan dan lembut. Kemudian, aku pun tahu kalau Om ini adalah pensiunan tentara yang juga seorang pendeta. Keluarga ini pun sempat memelihara seekor anjing dengan indera yang cukup sensitif hingga ia bisa menggonggong sepanjang waktu.

Tante sering membawakan kue atau roti buatannya untuk kami di rumah. Meski awalnya ada yang ragu untuk mencicipi, namun segera kami tepis, dan dengan niat bahwa penghargaan untuk pemberian seseorang itu sangat penting. Sering pula ketika bertemu di depan rumah, kami sekedar bercakap-cakap seadanya tentang keadaan saat itu, atau tentang keluarga mereka dan keluarga ku. Ketika Ellen menikah, kami sekeluarga (bapak dan mama khusus datang dari Watansoppeng untuk menghadirinya) serta beberapa tetangga datang ke hotel tempat acara itu berlangsung. Mengingat semua kebaikan dan keramahan keluarga ini, tidak ada alasan untuk tidak datang di acara tersebut.

Dan pada tanggal 16 November lalu, tepat ketika takbir menjelang Idul Adha berkumandang, sebuah kabar menyedihkan disampaikan sepupuku via telepon. Om Pendeta berpulang kemarin malam.  Entah karena sakit atau penyebab lain, yang pasti tidak akan ada lagi senyum dan sapaan ramah dari om pendeta. Tiba-tiba saja terlintas semua kejadian dalam memori ku yang mengingatkan pada Om Pendeta. 

Bagaimana seorang yang berbeda keyakinan, bahkan seorang pemimpin dalam kaumnya begitu menghargai orang lain. Tidak pernah tampak keraguan di mata seorang pendeta ini untuk menjalin hubungan yang baik dengan orang-orang di sekitarnya. Aku bisa langsung menebak, kalo Om Pendeta ini juga seorang Bapak penyayang yang penyabar bagi keluarganya, dengan tutur kata yang lembut dan menunjukkan kebijaksanaan.

Selamat jalan Om Pendeta, semoga semua kebaikan mu bisa dicontoh oleh banyak manusia di muka bumi ini. Di mana perbedaan buatmu bukan lah sebuah tembok pemisah, namun menjadi sebuah ruang untuk membuka hati bagi begitu banyak kebaikan untuk dibagi, tanpa syarat apapun......

Kamis, 11 November 2010

Bukan keturunan India


Saat menulis ini, sebenarnya kondisi ku masih seperti hari-hari kemarin. Kelelahan dan ngantuk berat. Tapi selalu saja sistem di tubuh ku melakukan sebuah kerja otomatis untuk menanggapinya, yaitu dengan melawan. hampir setiap saat kantuk datang, Hampir pula setiap saat itu aku menahan diri untuk tidak menurutinya. sebutlah aku keras kepala, bahkan pada kebutuhan ku sendiri pun aku begitu keras menahan diri.

Aku tahu ini sebuah gaya hidup yang tidak sehat. Bangun di pagi hari pukul 5.30, tanpa jadwal tidur siang, dan malamnya baru terlelap lagi di atas jam 11. Belum lagi perjalanan dengan dibonceng motor pulang pergi tempat kerja ku di kabupaten wajo dan pulang kembali ke kabupaten soppeng, dengan jarak total lebih dari 40 km. (terimakasih buat tati yang selalu setia menjemput dan mengantarkanku sampai di depan rumah. dia yang memboncengku dengan motor matic-nya, dengan perawakan badan yang tidak lebih besar dari badanku!!)

Setiap orang yang baru mengetahui kenyataan bahwa setiap hari aku harus menempuh perjalanan lintas kabupaten untuk menuju ke tempat kerja, rata-rata mengeluarkan ekspresi yang hampir sama. Mereka terkejut dan merasa itu hal yang hampir mustahil untuk dilakukan setiap hari oleh seorang perempuan. Mereka iba, khawatir, dan bahkan terkadang menjadi dramatis meskipun sebenarnya bukan maksud mereka seperti itu.

Kebanyakan orang di kantor telah mengetahui hal ini. saran mereka hanya satu. Cari tempat kost di sana. Tapi itu masih jauh dari pikiranku. Bukan hanya karena mengurusi kakek semata wayang ku, tapi karena menurutku masih ada pilihan lain untuk menjalani rutinitas ini. Tetap tinggal di kota asal ku bersama keluarga tentu jauh lebih menyenangkan dan menenangkan, dibanding harus tinggal di tempat baru dan mengorbankan itu semua.

Bukannya aku belum pernah tinggal di tempat yang asing dan belum aku kenal. 7 tahun lalu aku memulai hidup sebagai mahasiswa di kota makassar. Suasana yang ramai dan teman-teman yang menyenangkan tidaklah membuatku merasa asing lagi. Lain halnya dengan tempat kerjaku, yang tentu tidak semua orang bisa menyenangkan diajak lucu-lucuan dan bercanda ngalor ngidul. Lingkungan kerja adalah lingkungan yang serius, meski beberapa di antaranya tetap berusaha membuat suasana kantor tidak sekaku kesannya.

Sejak memulai status pegawai pemerintah 6 bulan yang lalu, sampai saat ini ada yang aneh tiap aku bercermin. Bukan karena kulitku yang makin hitam dan berjerawat akibat kebingungan sel untuk menyesuaikan antara dua kota dengan cuaca yang cukup berbeda tiap harinya. Tapi karena daerah kedua mataku yang dihiasi oleh lingkaran hitam yang semakin jelas dari hari ke hari. Iklan kosmetik di tv menyebutnya sebagai sindrom "mata panda". Analogi yang tepat, karena mata panda memang memiliki lingkaran hitam lebat di sekelilingnya. Tapi ini bukan karena aku memiliki darah keturunan India yang kebanyakan memang punya lingkaran hitam di daerah sekitar mata. Hidung pun sama sekali tidak mirip dengan hidung orang-orang yang membintangi film-film bollywood. Hanya warna kulit gelap ku yang hampir serupa.
Respon sistem dalam tubuh ku yang cenderung melawan rasa lelah dan kantuk, bukannya menuruti mereka untuk segera beristirahat dan tidur lelap di atas kasur empukku, menjadi tersangka utama lingkaran hitam yang muncul semakin jelas itu. Kali inipun mataku terasa menggantung beban yang berat, tapi tetap kulawan dengan sekuat tenaga. Malam masih muda, belum waktunya untuk tidur.Tapi tetap selalu ada janji untuk belajar tidur lebih awal esok malam, meski janji itu lebih sering tak kutepati demi alasan-alasan yang tidak terlalu jelas.

Kamis, 14 Oktober 2010

pelukan itu dari tanganku sendiri

saat ini hari sedang senja. Matahari tanggal 14 oktober sebentar lagi akan menyerah pada malam yang pelan-pelan merayap. Gelap sudah ada di langit timur sedari tadi, sedang berusaha menyusul ke langit barat dan akhirnya menggelapkan langit belahan bumi yang kupijak. Seperti kata sebuah lagu bugis, "labuni ro esso e, turunni uddani e", bagi ku senja memang mampu menggoreskan emosi lebih dalam seperti jingga yang tergores di antara awan. Bukan hanya kerinduan, tapi senja mampu membuka hati lebih luas untuk lebih banyak perasaan dan emosi di dalam jiwa.

Ini membawaku pada tanya yang sebenarnya sudah lama bersarang dan menggelapkan sebagian sisi pikiran ku. Apakah ada orang yang betul-betul menyayangi ku dengan seluruh jiwanya ? Kusadari, sungguh ini sebuah pertanyaan yang egois. Jika ini coba kau tanyakan pada seseorang yang kau kenal, contohnya temanmu, kebanyakan dari mereka akan berusaha meyakinkan mu bahwa mereka sayang padamu. Bahwa itu hanya pikiran negatif mu saja yang sama sekali tidak benar. Tentu itu sangat tidak salah dilakukan oleh seorang teman. Bahkan mereka bukanlah teman sejati jika melakukan sebaliknya.

Tapi, pertanyaan yang akan muncul setelahnya adalah, jika mereka memang menyayangiku, mengapa aku merasakan hal yang lain? Bukankah rasa sayang dan rindu itu dua hal yang hampir menyerupai ? Yang seperti kata sebagian orang, jika kamu merindukan seseorang maka akan lebih besar kemungkinannya orang itu juga sedang merindukanmu, atau setidaknya saat itu sedang ada kamu dalam pikirannya walaupun itu cuma sekedar sepintas.

Malam semakin menua. Masih ada aku di sini, hanya bersama pikiranku. Melihat jauh ke belakang apa yang sebenarnya terjadi. Dengan siapa saja aku telah menjalani seperempat abad usia. Adakah hal berarti yang telah aku lakukan setidaknya untuk diriku sendiri. Dan jutaan pertanyaan lain yang lebih banyak gagal untuk kutemukan jawaban yang pas. Aku dan orang-orang lain, ribuah wajah yang pernah singgah, hanya lewat, ataupun masih ada dalam catatan perjalanan hidupku. Mereka bukan tokoh fiksi, mereka nyata. Tapi tetap saja aku merasa sendiri.

Dulu aku sering meluangkan banyak waktu untuk mendengarkan banyak hal yang menghuni pikiranku. Itu banyak menolongku untuk sedikit mengatasi sepi. Tapi ketika aku coba membawa diri ke tengah keramaian orang-orang, aku justru tersesat. Petunjuk mulai kabur dan samar, karena aku sulit mendengarkan pikiran ku sendiri. Orang-orang ini terlalu banyak, terlalu ramai. Tapi pelan-pelan aku mulai sedikit mengabaikan hal-hal dalam pikiranku yang sedikit-sedikit mulai ditenggelamkan keramaian dunia di luar diriku. Itu membuatku mulai mengenal orang-orang lain. Aku pun mulai meyakini, ini akan menjadi lebih baik.

Tapi dunia berputar terlalu cepat dengan banyak orang di dalamnya. Aku pun tidak merasakan setiap kenangan dapat kurekam dengan baik. Akhirnya sebuah titik membawaku kembali menjauh dari keramaian itu. Aku sedikit lega karena aku kembali bisa mendengarkan pikiranku. Banyak hal yang harus aku pahami. Ini waktu yang tepat untuk bertanya dan melihat kembali siapa sesungguhnya yang betul-betul sayang padaku. Karena semakin cepat waktu berputar bersama dunia, semakin sulit kita membedakan kenyataan dan yang semu. Semua itu membutakan. Dan ketika kudengarkan kembali pikiranku, ia menyuruhku untuk memeluk diriku sendiri, sebelum jawaban dari pertanyaan itu kutemukan...

Jumat, 01 Oktober 2010

Bercerita pada Purnama yang Membuntuti

suatu ketika, aku tiba-tiba menyadari ada keindahan dalam malam itu. Malam di mana aku sedang berada di sadel belakang sebuah sepeda motor yang dikendarai seorang bapak tua dari arah Cabbenge menuju Watansoppeng. Terpaksa juga harus menumpang ojek meskipun sudah lewat magrib, karena mobil angkutan dari Sengkang tadi trayeknya hanya sampai di Cabbenge, ibu kota kecamatan sebelum Watansoppeng. Jarak yang harus aku tempuh mungkin sekitar 10 km untuk tiba. Sepanjang jalan harus melewati areal persawahan di kanan kiri jalan raya. Dimulailah serangan serangga-serangga kecil berwarna putih itu.

Untungnya aku dalam posisi dibonceng, hingga serangga yang beterbangan berebut menuju lampu motor itu hampir tidak ada yang mengenaiku. Tapi aku tahu betul cara kerjanya. Mereka pada puncak berbahaya bagi manusia ketika dalam keadaan terbang. Saat itulah sayap-sayap mereka menebarkan elemen-elemen mikroskopik yang bisa menimbulkan rasa gatal pada permukaan kulit manusia yang ada dalam radius beberapa meter. Ada yang beruntung kebal terhadap mereka, adapula yang kurang beruntung. Aku termasuk yang kedua, harus rela menari-nari alias menggaruk sana-sini jika ada beberapa saja di sekitarku. Dan malam ini, aku dikerumuni oleh kawanan mereka yang bergantian melintasi selama perjalanan.

Tapi tidak ada yang bisa kulakukan selain duduk menunggu ojek ini tiba di depan rumahku. Rasa gatal itu belum menyerang sekarang, mungkin menunggu tidak terlalu banyak angin. Masih butuh waktu sekitar 15 menit untuk tiba. Aku menoleh ke belakang, dengan takjub mendapati bulan purnama seperti membuntuti. Purnama itu agak blur, karena seakan terhaluskan oleh awan-awan tipis dari pandanganku. Ia bulat penuh tanpa cacat. Mungkin ini malam keduanya, karena biasanya pada malam kedua purnama datang ia mencapai bentukan paling sempurnanya, sebelum malam ketiga yang anti-klimaks.

Aku tiba-tiba teringat pada namaku. Rahmah Were Uleng Taufik. Aku memiliki satu kata yang similar dengan nama bulan. Uleng, itu bahasa bugis untuk bulan. Setauku, aku memang lahir pada malam hari, tapi entah sedang purnama atau tidak. Yang jelas arti namaku itu adalah rahmat Tuhan yang diberikan bulan. Purnama itu sedang memancarkan pesonanya, tidak terlalu tajam namun halus penuh kekuatan. Aku pun ingin bercermin pada bulan. Ingin bisa memahami apa yang sedang disampaikannya, atau hanya sekedar memberi tahu pada bulan ingin apa aku ini.

Menatap purnama selama beberapa saat membawaku pada lorong waktu hingga ke tujuh tahun yang lalu. Saat itu aku di tahun pertama kuliah di jurusan teknologi pertanian. Pendahulu-pendahuluku tidak bohong, kalau ospek di jurusan-jurusan eksakta tidak pernah ramah pada pendatang baru. Itu bisa kubuktikan dengan minggu-minggu berat di awal kedatangan kami anak-anak baru. Belum masuk masa ospek, kami sudah disuguhi hantaman-hantaman ala senior, baik itu lewat caci maki, pertemuan lengan dengan sandal gunung, sampai kaki salah satunya mendarat di pahaku. Jangan tanya kenapa saat itu pertahananku runtuh, aku menangis dengan harga diri yang terinjak seperti pahaku.

Tapi tidak selamanya hal berat itu adalah penderitaan. Selepas ospek, memang semua tidak langsung berjalan mudah. Penyesuaian adalah masalah utama bagi pendatang baru. Dan kami mulai disiapkan untuk sesuatu yang besar, dan itu bukan tawuran seperti yang jadi trend di masa itu dan sebelumnya. Sebulan penuh kami semua digembleng untuk melakukan hal yang biasanya jarang aku lakukan. Olah raga.... Tidak main-main ternyata para senior itu. Kami harus berlari mengelilingi kampus unhas tiap hari. Kalau hari ini jadwalnya sore,besok artinya siap-siap tiba di kampus jam 5 subuh. Bagian lari subuh yang sangat berat. Beruntung salah satu teman sma yang satu jurusan denganku berbaik hati mengantar jemput, sore ataupun subuh. (terimakasih Ricky)

Tapi itulah yang aku nikmati. Memaksa diri untuk melawan semua kemalasan yang bersarang dan mengendap selama ini, setidaknya untuk sebulan kedepan. Track lari setelah dua minggu mulai makin jauh. Kali ini, bukan hanya berlari di dalam kampus unhas, tapi juga berlari mulai dari dalam hingga ke luar kampus. Setelah sebulan, hasil evaluasi dari program itu keluar. Aku ditempatkan di kelompok jalur pos 7. Oh iya, sudahkah aku sebutkan kami akan ke mana? Kami akan mengadakan perjalanan menuju Ramma', lembah Gunung Bawakaraeng. Bagian terbaiknya adalah itu pertama kalinya perjalananku yang betul-betul bersentuhan langsung dengan alam. Api semangat telah tersulutkan semakin besar.

Dua hari dua malam perjalanan yang kami harus tempuh untuk tiba di tempat itu. Semakin jauh, semakin curam saja kemiringan lereng dan pendakian kami. Hari pertama lancar. Pos 1 mempertemukan kami dengan hamparan perkebunan kol dan sayuran lainnya yang siap dijual keluar Malino. Bersamaan dengan pertemuan kami dengan hutan pinus pertama yang tentu saja diselimuti kabut dan embun yang mendukung hawa makin dingin. Selama perjalanan kami sekelompok kadang bercerita, kadang pula hanya berjalan dalam diam. Sambil sesekali memakan gula merah atau minuman stamina untuk menambah laju. Hari kedua pun makin seru. Memasak dengan parafin atau kompor kupu-kupu sampai hampir membakar habis tenda kelompok kami, menuruni bukit untuk tiba disungai, menunda mandi selama 3 hari karena kayaknya nda mungkin di atas sana, ataupun mencari celah waktu untuk mengambil nafas, menjadi detail-detail yang tak terlupakan.

Hari kedua kami sedikit lagi tiba di bawah sana, lembah yang kami tuju. Tapi melihat ke bawah, hanya awan rendah yang bisa kami saksikan menutupi lembah itu. Sesekali senior yang telah tiba lebih dulu memainkan lampu senter hingga menembus awan di atas mereka dan memberi kode pada kami yang akan turun. Kulirik kakiku, yang ternyata hanya melewati tanah selebar lebih dari 50 cm dan selebihnya di sebelah kiri kami adalah lereng yang tegak lurus dengan lembah itu. Cukup mengerikan jika membayangkan sedikit saja salah melangkah, entah akan ada dimana aku sekarang.

Ramma', itu nama lembah yang kami datangi. Daratan yang tidak terlalu rata menghampar luas dipagari pemandangan gunung Bawakaraeng dan bukit-bukitnya. Memotong di tengahnya sebuah sungai kecil dengan lebar sekitar lebih dari 1 meter saja, yang kutebak hulunya dari mata air di atas gunung sana. Saat kusentuh alirannya, begitu bening dan dingin. Kadang untuk memperoleh sebotol minuman dingin, kami tinggal menaruh botol berisi minuman selama beberapa menit di dalam aliran air sungai itu. Seperti berada dalam dimensi lain dunia ini, tempat itu begitu mendamaikan. Hijau lembah yang terselimuti rumput berpadu dengan kokoh lereng yang menjulang menopang daratan di atasnya, bak lukisan pemandangan dari tangan seorang profesional. Dan itu memang benar, Dia lah sang pelukis keindahan itu.

Tersadar aku, masih di atas ojek yang melaju dengan kecepatan rata-rata. Masih dengan serangga-serangga putih itu, namun Watansoppeng sudah dekat. Langsung kuucap janji itu pada hatiku. Tahun depan akan ada sebuah petualangan lagi, yang harus kulakukan sebelum memasuki petualangan lain yang baru dalam hidupku. Petualangan bersama orang-orang yang aku kasihi. Aku akan kembali ke tempat itu, bersama dengan mereka yang masih melakukannya hingga saat ini. Mereka pasti paham alasan yang sama dengan yang membawa mereka selalu ingin kembali ke sana. Dunia lain yang membebaskan, dunia lain yang menghapus batasan manusia dan alam, dunia lain yang membuat mereka ingin selalu bersujud, dan dunia lain yang selalu akan mereka simpan dalam hati dan kenangan mereka. Begitupun aku, jika hati lelah dengan kemunafikan dan ego yang lahir setiap hari dalam rutinitas, aku akan kembali ke sana. Tahun depan akan kunantikan purnama yang membuntuti ku ketika aku menoleh ke belakang, dan akan kuperlihatkan padanya langsung dunia lain itu agar kami bisa saling bercerita tentang keindahan.

Senin, 23 Agustus 2010

simpul mati

Ada masa di mana sepasang tali terikat simpul mati. Sepanjang upaya untuk menyatukan kedua tali, selalu ada celah untuk menarik ujung yang satu agar saling bersilangan sempurna dengan ujung tali yang lain. Kadang celah itu terbuka lebar, ketika kedua tali tidak saling tarik. Namun tidak jarang pula celah itu hampir tak tampak karena kedua tali melupakan tarikan yang pas untuk menghindari tertutupnya celah.

Minggu, 22 Agustus 2010

wiring bittarae


Familiarkah nama itu bagi kalian? Tentu jawabannya iya, bagi mereka (yang pasti sudah banyak) yang telah membaca buku karya Fauzan Mukrim, senior kami di Jurusan Komunikasi Universitas Hasanuddin. Lebih akrab ia dipanggil Kak Ochan. Aku terkejut sekaligus kagum ketika membaca bagian di mana Senja akhirnya berkenalan dengan seorang yang juga wartawan bernama cukup unik, Wiring Bittarae. Kaum Bugis akan langsung mengenali nama itu sebagai nama khas Bugis. Meskipun aku belum pernah sekalipun mendengar idiom semacam itu, namun seketika itu pula Kak Ochan menerangkan artinya di bagian tersebut.

Jujur, buku ini baru saja selesai kubaca. Setelah 2 minggu tergeletak di dalam box karton yg kubawa pulang dari Makassar tempo hari. Buku itu kupinjam dari Darma, setelah sempat kecewa karena edisi tandatangan asli Kak Ochan sudah habis stock. Tapi setelah dipikir-pikir, aku bisa minta langsung jika Kak Ochan datang ke Makassar nantinya.Bulan Ramadhan pun sepertinya hanya menyisakan sedikit waktu untuk kegiatan membaca buku, apalagi menyelesaikannya. Tapi akhirnya buku ini tuntas juga ku baca.

Sebenarnya banyak sekali bagian menarik di buku ini, yang jika ia halaman web di situs tertentu, pasti akan ku tandai sebagai bookmark. Seperti bagian di mana Senja tengah bergelut dengan kesibukan dan alur cepat yang khas di sudut-sudut ruangan gedung stasiun tv yang tidak pernah mati. Meskipun sekarang aku bekerja jauh dari cita-cita yang membawaku ke Jurusan Ilmu Komunikasi, namun selalu ada semangat jika membaca tentang kehidupan dan kerasnya kerja seorang wartawan.

Apalagi petualangan-petualangan Senja dan rekan-rekan sesama jurnalis yang tidak gentar untuk terjun langsung ke daerah-daerah konflik maupun bencana. Segala hal yang berbau menantang dan sedikit ekstrim seperti itu yang bisa membuat gejolak aderenalin lebih mendesir deras. Tapi tentunya mereka melakukan itu bukan semata atas dasar mencari pil pemacu adrenalin alias kejadian-kejadian menegangkan demi sebuah cerita seru di depan keluarga ataupun teman. Itu adalah tugas, itu adalah pekerjaan, dan itu adalah ibadah bagi mereka, apapun agamanya. Ketika jaringan komunikasi di Aceh terputus dengan dunia luar karena bts yang rusak, para jurnalis inilah yang mengumpulkan sejumlah data dan fakta di lapangan yang akan memberi petunjuk pada dunia luar apa yang sebenarnya terjadi di tanah Cut Nyak Dien itu.

Salah satu bagian yang juga menurutku paling mengguncang emosi adalah ketika Senja mengobrol panjang dengan kawan lamanya sesama murid kiai di kampung, Asrari Khudi atau Ari. Setelah lama berpisah, Ari ternyata jadi buronan polisi karena terlibat di beberapa peristiwa ledakan bom di beberapa tempat. Ia menjadi salah satu dari sekian yang dituduh teroris oleh pihak berwajib. Akhirnya mereka bertemu dan bercerita begitu lama. Termasuk mengapa Ari menjadi salah satu dari mereka. Mengapa dunia harus menjadi korban ketidakharmonisan Israel dan Palestina yang jika dilihat ke belakang, semua berawal dari perebutan tanah nenek moyang (aku sedikit mengetahui sengketa ini karena skripsiku membahas film dengan latar belakang yang sama).

Tapi Senja justru memberikan sebuah pandangan yang sedikit lebih luas dan tidak melulu menyalahkan ras atau agama tertentu. Ia menyebutkan nama Artur Gish, dan yang paling tragis adalah Rachel Corrie. Kisah memilukan seorang gadis Amerika bernama Rachel Corrie yang menyadari ada sesuatu yang sangat salah dengan dunia ini ketika melihat Israel selama puluhan tahun menindas rakyat kecil Palestina. Ia menjadi relawan yang turun langsung ke Palestina, dan akhirnya harus tewas di bawah roda besi dan "tangan" raksasa mesin buldozer yang akan menghancurkan rumah salah seorang warga Palestina. Bagian ini membuat sesuatu serasa menusuk tenggorokan ku, yang biasanya terjadi ketika aku menahan sesuatu keluar mengalir di sudut mata.

Singkat kata, Senja bertemu seorang gadis, yang juga namanya unik, Horizon Santi. Ya, Horizon berarti cakrawala, dan cakrawala itu bagai tepian dari langit yang maha luas, penjelasan itupun ada dalam buku ini. Berarti teori turbulensi itu memang ada dan dipercaya oleh banyak orang. Ketika seekor kupu-kupu mengepakkan sayapnya di Kirgistan, getarannya bisa mengakibatkan badai di Pantura. Horizon Santi yang akhirnya menemukan bahwa ia adalah anak angkat gara-gara email dari seseorang yang tidak ia kenal bernama Tepi Langit, ternyata dibawa waktu bertemu Senja yang nantinya akan mempertemukan ia dengan masa lalunya yang diketahui sangat jelas oleh si Tepi Langit ini.

Ketika bertugas di Aceh, Senja tanpa sengaja mendengar sebuah nama yang menjadi kunci dari pencarian Santi akan orangtua kandungnya. Wiring Bittarae, salah seorang wartawan yang lama bertugas di Aceh dan pernah mewawancarai salah seorang panglima GAM. Aku selalu menyukai nama-nama berbahasa bugis, mungkin karena namaku juga begitu. Kurang lebih artinya adalah "pemberian Tuhan dari bulan". Meskipun kedengarannya aneh tapi aku menyukai nama ini. Nama inilah yang membuat guru-guruku, dari SMA hingga SD sulit melupakan muridnya yang satu ini. Sama halnya dengan teman-teman sekolahku. Kadang aku bertemu salah satu dari mereka, namun tidak sedikit pun terbayang nama seperti apakah yang dimiliki temanku ini. Sebaliknya mereka justru langsung memanggil namaku. Mungkin sebegitu anehnya namaku, hingga orang-orang tidak pernah lupa ketika mengingat atau menyebutkannya sekalipun.

Cerita ini masih terus membayang, meskipun aku telah menutup halaman terakhirnya. Begitu banyak pengalaman imaji yang ditawarkan oleh kak Ochan dalam bukunya. Kehidupannya sebagai wartawan lapangan yang mendapat penugasan-penugasan di luar zona nyaman membuat ku iri. Tapi setidaknya ia telah membolehkanku merasakannya lewat gambaran ku sendiri yang ia bentuk lewat tulisannya. Dan aku yakin masih banyak lagi karya besar dan hebat yang akan lahir dari seorang Fauzan Mukrim. Kami tunggu kak.

Jumat, 06 Agustus 2010

buka cabang

bukan hanya toko yang bisa buka cabang. blog juga bisa. dan itu kulakukan dengan menambah satu lagi blog di daftarku. meskipun akan banyak yang bilang, mengisi satu blog saja susah ini malah nambah lagi. ya, aku memang tidak rajin posting tulisan di blog, terbukti dengan sepinya blog ku sebelumnya. baik tulisan, apalagi komentar.

untuk mengadakan penyegaran dan memacu produktifitas, aku coba membuka satu lagi blog. semoga bisa bikin semangat dan menambah stamina menulis sesuatu di blog. meskipun kadang ada penyesalan, tidak sesegera mungkin menuliskan ide di kepala saat itu juga. karena memoriku terhitung lebih kecil kapasitasnya dari kemampuan memori manusia kebanyakan. apalagi jika harus mengembalikan emosi yang dirasa ketika ide itu datang. beberapa jam saja, rasa dari pengalaman yang sebelumnya bisa-bisa menguap. dan lenyap.

seperti beberapa hari yang lalu, ketika aku sedang menunggu pete-pete pulang ke rumah sepulangnya aku dari tempat kerja. tempat itu tepat di seberang lapangan kota sengkang yang fungsinya bisa bermacam-macam. pada hari itu,lapangan sedang ramai oleh anak-anak remaja usia SMP dan SMA yang menggunakan kostum khusus identitas sekolah mereka. menjelang 17 Agustus, banyak acara dan lomba diadakan. salah satu yang sangat khas adalah lomba gerak jalan antar sekolah.

melihat anak-anak itu tengah bersiap dengan berupa kesibukan, mulai dari sekedar ngobrol, menanti teman yang belum datang, saling membenahi kostum dan aksesori, hingga mengumpulkan teman untuk latihan menyiapkan barisan, aku seperti kembali menunggangi mesin waktu ku. mengembalikan ingatan pada masa-masa sekolah dan mengikuti lomba serupa.

tapi sampai saat ini, ada beberapa rasa yang muncul saat itu tapi seakan hilang tanpa meninggalkan jejak pada memori. rasa itu yang harus aku kumpulkan untuk menulis kisah-kisah lainnya. rasa yang berbanding lurus dengan ingatan. saling membutuhkan satu sama lain. tanpa keduanya, aku tidak bisa meneruskan tulisan dan menyelesaikannya dengan kalimat yang tepat. dan aku harus menyudahi ini dulu. selamat datang di cabang kami....