Rabu, 23 Februari 2011

Dari Jam Tidur Sampai "Nasi Kuning"

Era pulang pergi lintas kabupaten setiap hari dari rumah ke tempat kerja, sudah berakhir.

Sejak dua minggu lalu, aku dan temanku Tati mengakhiri kebiasaan penuh resiko keselamatan dan ancaman kesehatan itu. Sebelumnya, setiap hari kerja kami berangkat pagi-pagi sekali dari rumah di Kota Watansoppeng menuju Kota Sengkang dengan jarak tempuh total 80 km lebih. Kami berdua tidak terlalu memikirkan apa yang menjadi komentar orang-orang mengetahui dua perempuan muda berboncengan lintas kabupaten untuk menjalankan kewajiban mereka sebagai abdi negara selama 6 hari dalam seminggu. Lebih dari 3 jam per hari kami habiskan di atas motor matic berusia 3 tahun milik Tati.

Sebelum setengah 7 pagi aku sudah harus siap menunggu Tati menjemput. Meskipun kadang Tati yang justru harus menunggu ku karena gerakanku yang sedikit lebih lambat di pagi hari. Tapi jika memaksakan diri terburu-buru, tidak jarang aku lupa membawa salah satu barang. Pernah sekali waktu aku lupa membawa hp dan hasilnya, komunikasi ku lumpuh selama jam kantor. Untunglah aku bukan gadgetmania yang hidupnya tergantung pada gadget seperti telepon selular.

Aku suka perjalanan di pagi hari dengan duduk di bonceng di atas motor. Udara dingin sekitaran Kabupaten Soppeng selalu saja mampu menusuk hingga begitu terasa di tempurung lutut. Jaket tebal lah sebagai penolong menembus hawa dingin dan jalanan yang tak jarang masih terselimuti kabut. Di siang hari dalam perjalanan pulang, kenikmatan di pagi hari dibalas dengan teriknya sinar matahari yang pelan-pelan merayap menyakiti permukaan kulit. Namun jika hari diguyur hujan, butuh sedikit lebih banyak ketahanan dan tentu persiapan. Tapi itu bukan masalah besar, aku dan Tati masing-masing sudah memiliki jas hujan, bahkan dengan warna yang sama, shocking yellow!!! :)

Tapi kami harus mempertimbangkan lebih jauh lagi mengenai kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja timbul setelahnya, kesehatan terutama. Dalam jangka pendek mungkin saja dampaknya tidak terlihat jelas, tapi efek jangka panjanglah yang kami khawatirkan. Kami memutuskan untuk menyewa kamar kost yang dibayar perbulan untuk kami tempati bersama. Selama dua minggu ini aku dan Tati berbagi tempat tinggal di sebuah tempat kost di kota sutera itu. Kamarnya sederhana, bahkan kamar mandinya ada di luar beberapa meter dari kamar kami. Fasilitasnya harus kami bawa atau beli sendiri. Tempat kost kami sekarang memang letaknya cukup strategis, tepat di tepi jalan masuk ke Kota Sengkang. Bangunannya masih baru dan desain moderen ala minimalis. Mungkin itu alasan pemiliknya mematok harga yang lebih tinggi dari beberapa tempat lain.

Kami merasa kamar kost sudah cukupdan belum perlu untuk mengontrak satu rumah, karena selain hari Sabtu kami pun pulang ke Soppeng pada hari Rabu. Dua kali seminggu kami meninggalkan kota Sengkang dan pulang ke Soppeng membawa baju-baju kotor yang siap dicuci gratis di rumah sendiri, solusi penghematan lainnya. Praktis, jika dihitung-hitung rata-rata kami hanya empat hari saja menempati kamar kost dalam seminggu.

Beberapa keuntungan menetap di kota yang sama dengan tempat kerja sesungguhnya lebih banyak ke arah materi. Tidak perlu banyak-banyak mengeluarkan ongkos untuk pergi dan pulang dari kantor. Kami pun punya kompor gas sendiri untuk mengolah bahan-bahan mentah dan setengah jadi untuk kami makan sehari-hari, otomatis biaya masak sendiri jauh lebih murah dari pada beli. Tapi efek paling signifikan bagiku pribadi adalah bertambahnya intensitas untuk memanjakan diri dengan tidur. Di sana tidur siang hampir jadi rutinitas, kecuali jika jadwal memancing tiba. Tidur malam pun bisa sampai 7 atau 8 jam. Itulah yang dibutuhkan tubuhku ini, pemenuhan jadwal tidur untuk menebus hutang-hutang tidur sebelumnya. Mungkin saja bisa mengurangi lingkaran hitam dari sindrom mata panda yang menghiasi wajahku.

Namun selama di tempat itu, air bersih yang seharusnya selalu kami gunakan, hanya bisa kami nikmati dari pagi hingga siang hari. Selebihnya kami harus menggunakan air sumur bor yang menurutku tidak akan lolos uji kelayakan air bersih dinas kesehatan. Jika dipakai berkumur saat menyikat gigi, akan timbul rasa aneh di dalam mulut. Belum lagi air nya yang cenderung berwarna kekuningan. Beberapa hari lalu kami lupa menyisihkan air bersih untuk mencuci beras dan memasak nasi, Terpaksa menggunakan air sumur bor untuk aktivitas itu. Begitu nasi matang dan tutup ricecooker dibuka, maka jadilah "nasi kuning" yang siap disantap.
 
Masalah lainnya adalah, bagi kami harga sewa perbulan di tempat berdesain minimalis itu termasuk mahal. Pendapat rekan kerja pun tidak berbeda, mereka menyarankan tempat kost lain atau pun menawarkan kami mengontrak rumah saja. Tekad kami untuk pindah kost pun sudah bulat sebulat-bulatnya. Syukurlah salah seorang rekan kerja ku menemukan sebuah tempat yang memiliki fasilitas kamar lumayan lengkap dengan harga yang masuk akal.


Kami, aku dan Tati, hanyalah anak perempuan seseorang. Anak perempuan dari orangtua yang selalu mengkhawatikan kami meski tidak sering mereka ucapkan. Cukup mereka ungkapkan dengan membiarkan kami beristirahat sepuasnya jika kami tiba dari kantor, mengingatkan kami menyiapkan barang-barang untuk keesokan harinya, ataupun sekedar memasakkan kami makanan kesukaan untuk bekal menginap di Kota Sengkang. Tapi itu cukup membuat kami mengerti bahwa pilihan kami untuk menetap di kota tempat kerja sudah tepat. Mereka tidak perlu lagi terlalu mengkhawatirkan kami dalam perjalanan dan tentu kami bisa lebih fokus bekerja dengan ketepatan waktu yang lebih baik.

Keputusan kami itu pun membawa kami bertemu dengan hobi baru yang diperkenalkan rekan kerja ku. Hobi yang bisa membuat waktu terasa berlalu lebih cepat, dan kebosanan yang biasanya melambatkan jarum jam perlahan bisa kami taklukkan. Meski sekali-sekali harus mengorbankan tidur siang yang menggiurkan, namun sama sekali tidak membuat kami merasa rugi. Kami lebih dekat dengan alam, serta ada kepuasan tersendiri yang sanggup melapangkan jiwa dan menenangkan hati. Besok akan ada sesi berikutnya, dan kami akan ada di sana di tepi sungan dengan joran pancing kami masing-masing :)

Selasa, 01 Februari 2011

The Final Results

Hari ini, tepat dua hari hari setelah partai terakhir dari turnamen Australian Open 2011 dipertandingkan. Setelah dua minggu lamanya, para petenis dunia yang berkumpul di Melbourne menjalani ujian berat bagi mental dan fisik mereka. Turnamennya telah usai, tapi meskipun begitu jika kebetulan channel tv yang ku kendalikan lewat remote-control melewati StarSports, masih saja tayang siaran ulang partai-partai besar dari ajang tersebut.

Sekali waktu aku tidak begitu menghiraukannya sama sekali, langsung ke channel berikutnya. Tapi di lain waktu, aku tidak akan memainkan remote-control dan berhenti untuk menikmati kembali momen-momen ajaib itu. Meski hasil akhir pertandingan sudah ku ketahui, tapi permainan para jawara tenis ini bisa menyihir penontonnya dan kau hanya bisa menatap kagum kemampuan mereka di lapangan. Berlari dari sudut yang satu ke sudut lainnya, dari belakang baseline hingga berusaha menjangkau bola-bola sulit di dekat net, mengayunkan raket di antara kedua kaki, bahkan forehand smash keras membuat seakan-akan mereka melayang. Tidak jarang ada yang harus jungkir balik ketika berusaha menjangkau bola, atau seperti Kim, sebelah tangan mengayun raket, sebelahnya lagi bertumpu di lapangan menahan berat tubuh pada posisi hampir split.

Hari Sabtu lalu, partai final tunggal putri digelar. Sore hari waktu Indonesia, di Melbourne sudah menunjukkan jam 7 malam. Pengaruh letak benua kangguru ini terhadap garis khatulistiwa menyebabkan malam hari itu cakrawala masih diterangi dengan semburat merah-jingga matahari. Dari pandangan lewat layar kaca, akan sulit menemukan bangku kosong di antara lautan penonton dalam Rod Laver Arena. Suasana ini bahkan makin menggila ketika partai final tunggal putra digelar esok harinya (Minggu).

Di depan tv, Bapak terlihat sangat serius menantikan final tunggal putri ini. Ia sepenuhnya bersemangat dan mendukung Li Na, petenis Cina yang masuk ke babak final. Perempuan berusia 28 tahun ini hebat, berhasil mencatat sejarah sebagai satu-satunya petenis Asia yang menembus final grandslam ( di antara semua petenis Asia tunggal putra dan tunggal putri ). Li dilatih oleh suaminya, yang di setiap pertandingan tidak pernah ketinggalan hadir dan menjadi pendukung setia sang istri.

Baru belakangan ini nama Li Na semakin sering diperbincangkan. Ia sejatinya telah memenangkan banyak gelar di lever WTA Tour dan ITF. Namun ini adalah gebrakan besarnya menjadi finalis di sebuah grandslam. Bahkan hal seperti itu tidak sering-sering dialami petenis papan atas. Vijay dan Alan berkomentar "Sekitar 2 milliar orang sedang menantikan juara baru mereka", dan yang mereka maksud pastinya adalah para penduduk China.

Tapi mari kita lihat lawan Li Na di final. Seorang ibu yang pernah berniat untuk gantung raket, tapi kecintaannya pada dunia tenis membuat ia kembali dengan pesona yang sama di lapangan tenis. Ia mantan petenis nomor 1 dunia dari Belgia, Kim Clijsters. Saat ini Kim kembali mendominasi dengan beranjak ke posisi ranking 2 dunia di bawah Caroline Wozsniacki. Catatan gelar juara yang dikoleksi dalam rangkaian WTA Tour, baik sebagai pemain tunggal maupun ganda, telah banyak diraihnya. Tapi tahun ini ia akan berjuang merebut trofi Australian Open  pertamanya, setelah sebelumnya memenangi turnamen US Open sebanyak tiga kali.

Set pertama milik Li Na, diakhiri dengan cemerlang. Namun pengalaman mungkin jadi penyebab permainan Li yang gugup di set kedua. Kim mulai menggebrak pertahanan Li dengan lebih agresif. Secara meyakinkan, set kedua ditutup dengan kedudukan 1 set sama bagi kedua pemain. Akhirnya set penentu mempertemukan takdir dengan usaha keduanya. Kim masih lebih unggul daripada Li, setelah championship point ia raih dari pukulan Li yang membentur net gagal menyeberang ke bagian lapangan Kim. Sesaat terlihat Kim menunjukkan raut wajah penuh haru. Dan kemenangan itu ditutup dengan trofi juara tunggal putri yang diangkat tinggi-tinggi oleh Kim Clijsters, tentu dengan semakin banyak perhatian dan pujian bagi sang runner-up Li Na.
Esok nya, di waktu yang sama, final tunggal putra pun digelar. Jangan tanya lagi bagaimana antusiasme penonton di Rod Laver Arena. Partai tunggal putra memang sepertinya menyedot lebih banyak perhatian dari pada partai lainnya. Penonton punya ekspektasi tinggi bagi para petenis putra, mereka menantikan pertunjukan yang bukan hanya sekedar pertandingan olahraga, tapi juga hiburan yang membuat penonton berdecak kagum. Para pria ini sering memperlihatkan atraksi-atraksi mencengangkan, dan sering pula muncul nama-nama baru petenis pria dengan skill yang mumpuni.

Pada final kali ini, ada wajah yang tak asing dari turnamen yang sama tahun lalu. Ya, Andy Murray yang sedikit mirip dengan vokalis Coldplay, Chris Martin, tampil di babak final Australian Open dua tahun berturut-turut. Tahun lalu Andy dikalahkan Roger Federer, karenanya ia akan menjadi lawan yang berat bagi finalis lainnya. Ia semakin keras berjuang untuk mewujudkan harapannya di turnamen ini, dengan sang ibu yang setia menemani dan tak jarang melakukan standing applause untuknya. Di babak semifinal Andy berhasil memaksa David Ferrer untuk sejenak melupakan mimpinya maju ke final. Meskipun sebelumnya, David melangkah dengan mantap dan percaya diri setelah mengalahkan Rafael Nadal (rangking 1 dunia) dengan 3 set langsung, kali ini ia harus menunggu turnamen berikutnya untuk kesempatan lain.

Di sisi lawan, petenis rangking 3 dunia, Novak Djokovic memasuki lapangan dengan bahasa tubuh yang penuh keyakinan. Sorot mata yang tajam makin menegaskan ambisinya untuk meraih gelar juara di Melbourne untuk kedua kalinya. Petenis Serbia ini mungkin termasuk petenis paling "stabil" posisi rangkingnya dalam kurun waktu empat tahun terakhir. Permainannya yang agresif dan gemilang pun terbukti berhasil membawa Nole (sapaan akrab Novak) mengalahkan dua petenis hebat, Rafael Nadal dan Roger Federer, di beberapa kesempatan.

Pertandingan berjalan tidak terlalu cepat. Kedua petenis berusia 23 tahun ini ternyata saling menyerang dan bertahan dengan intensitas yang hampir sama. Game demi game ditamatkan dalam rata-rata waktu lebih dari 5 menit. Aku pun makin sulit beranjak dari depan tv, karena takut melewatkan serangan-serangan satu sama lain. Kuku tangan dan kaki ku hampir habis aku cabuti karena ketegangan berlebih menyaksikan tayangan itu. Tapi semakin lama, arah pertandingan ini hampir bisa terbaca. Novak tidak kehilangan satu set pun untuk tiba di final, dan begitu pula ketika berhadapan dengan Andy. Ia terus memimpin, meskipun Andy kadang mengejutkannya dengan serangan di sudut-sudut sulit.

Pendapat wartawan dan pengamat tenis mengenai berakhirnya era Federer-Nadal, malam itu sepertinya makin banyak yang mengamini. Novak Djokovic yang pada semifinal membuat Roger menyusul Rafa keluar dari turnamen dengan straight set akhirnya memenangkan pertandingan atas Andy Murray juga dengan straight set. Trofi juara tunggal putra Australian Open 2011 kembali dihiasi nama Novak Djokovic, seperti tahun 2008 lalu. Sayang sekali bagi Andy yang kembali tertunda kemenangannya di turnamen ini, dan yang pasti ia akan kembali.

Menutup tulisan ini, aku hanya bisa mengucapkan selamat bagi para juara. Baik bagi yang memegang trofi maupun yang belum sempat mengikuti jejak juara-juara sebelumnya, mereka semua layak. Bagi Andy, Li, maupun mereka yang tidak sempat menjejakkan kaki di final, semua hanya sebuah proses. Berusaha dengan tekad, usaha, pengorbanan, dan disiplin yang semaksimal mungkin, percaya atau tidak, seburuk apapun hasilnya akan semakin mendekatkan dengan predikat sebagai juara itu sendiri. It's just a matter of time !!! Beberapa bulan ke depan, grandslam berikutnya akan digelar di Paris. French Open 2011 jadi sebuah kesempatan kedua, and everyone deserves a second chance... So be prepare...