Kamis, 14 Oktober 2010

pelukan itu dari tanganku sendiri

saat ini hari sedang senja. Matahari tanggal 14 oktober sebentar lagi akan menyerah pada malam yang pelan-pelan merayap. Gelap sudah ada di langit timur sedari tadi, sedang berusaha menyusul ke langit barat dan akhirnya menggelapkan langit belahan bumi yang kupijak. Seperti kata sebuah lagu bugis, "labuni ro esso e, turunni uddani e", bagi ku senja memang mampu menggoreskan emosi lebih dalam seperti jingga yang tergores di antara awan. Bukan hanya kerinduan, tapi senja mampu membuka hati lebih luas untuk lebih banyak perasaan dan emosi di dalam jiwa.

Ini membawaku pada tanya yang sebenarnya sudah lama bersarang dan menggelapkan sebagian sisi pikiran ku. Apakah ada orang yang betul-betul menyayangi ku dengan seluruh jiwanya ? Kusadari, sungguh ini sebuah pertanyaan yang egois. Jika ini coba kau tanyakan pada seseorang yang kau kenal, contohnya temanmu, kebanyakan dari mereka akan berusaha meyakinkan mu bahwa mereka sayang padamu. Bahwa itu hanya pikiran negatif mu saja yang sama sekali tidak benar. Tentu itu sangat tidak salah dilakukan oleh seorang teman. Bahkan mereka bukanlah teman sejati jika melakukan sebaliknya.

Tapi, pertanyaan yang akan muncul setelahnya adalah, jika mereka memang menyayangiku, mengapa aku merasakan hal yang lain? Bukankah rasa sayang dan rindu itu dua hal yang hampir menyerupai ? Yang seperti kata sebagian orang, jika kamu merindukan seseorang maka akan lebih besar kemungkinannya orang itu juga sedang merindukanmu, atau setidaknya saat itu sedang ada kamu dalam pikirannya walaupun itu cuma sekedar sepintas.

Malam semakin menua. Masih ada aku di sini, hanya bersama pikiranku. Melihat jauh ke belakang apa yang sebenarnya terjadi. Dengan siapa saja aku telah menjalani seperempat abad usia. Adakah hal berarti yang telah aku lakukan setidaknya untuk diriku sendiri. Dan jutaan pertanyaan lain yang lebih banyak gagal untuk kutemukan jawaban yang pas. Aku dan orang-orang lain, ribuah wajah yang pernah singgah, hanya lewat, ataupun masih ada dalam catatan perjalanan hidupku. Mereka bukan tokoh fiksi, mereka nyata. Tapi tetap saja aku merasa sendiri.

Dulu aku sering meluangkan banyak waktu untuk mendengarkan banyak hal yang menghuni pikiranku. Itu banyak menolongku untuk sedikit mengatasi sepi. Tapi ketika aku coba membawa diri ke tengah keramaian orang-orang, aku justru tersesat. Petunjuk mulai kabur dan samar, karena aku sulit mendengarkan pikiran ku sendiri. Orang-orang ini terlalu banyak, terlalu ramai. Tapi pelan-pelan aku mulai sedikit mengabaikan hal-hal dalam pikiranku yang sedikit-sedikit mulai ditenggelamkan keramaian dunia di luar diriku. Itu membuatku mulai mengenal orang-orang lain. Aku pun mulai meyakini, ini akan menjadi lebih baik.

Tapi dunia berputar terlalu cepat dengan banyak orang di dalamnya. Aku pun tidak merasakan setiap kenangan dapat kurekam dengan baik. Akhirnya sebuah titik membawaku kembali menjauh dari keramaian itu. Aku sedikit lega karena aku kembali bisa mendengarkan pikiranku. Banyak hal yang harus aku pahami. Ini waktu yang tepat untuk bertanya dan melihat kembali siapa sesungguhnya yang betul-betul sayang padaku. Karena semakin cepat waktu berputar bersama dunia, semakin sulit kita membedakan kenyataan dan yang semu. Semua itu membutakan. Dan ketika kudengarkan kembali pikiranku, ia menyuruhku untuk memeluk diriku sendiri, sebelum jawaban dari pertanyaan itu kutemukan...

Jumat, 01 Oktober 2010

Bercerita pada Purnama yang Membuntuti

suatu ketika, aku tiba-tiba menyadari ada keindahan dalam malam itu. Malam di mana aku sedang berada di sadel belakang sebuah sepeda motor yang dikendarai seorang bapak tua dari arah Cabbenge menuju Watansoppeng. Terpaksa juga harus menumpang ojek meskipun sudah lewat magrib, karena mobil angkutan dari Sengkang tadi trayeknya hanya sampai di Cabbenge, ibu kota kecamatan sebelum Watansoppeng. Jarak yang harus aku tempuh mungkin sekitar 10 km untuk tiba. Sepanjang jalan harus melewati areal persawahan di kanan kiri jalan raya. Dimulailah serangan serangga-serangga kecil berwarna putih itu.

Untungnya aku dalam posisi dibonceng, hingga serangga yang beterbangan berebut menuju lampu motor itu hampir tidak ada yang mengenaiku. Tapi aku tahu betul cara kerjanya. Mereka pada puncak berbahaya bagi manusia ketika dalam keadaan terbang. Saat itulah sayap-sayap mereka menebarkan elemen-elemen mikroskopik yang bisa menimbulkan rasa gatal pada permukaan kulit manusia yang ada dalam radius beberapa meter. Ada yang beruntung kebal terhadap mereka, adapula yang kurang beruntung. Aku termasuk yang kedua, harus rela menari-nari alias menggaruk sana-sini jika ada beberapa saja di sekitarku. Dan malam ini, aku dikerumuni oleh kawanan mereka yang bergantian melintasi selama perjalanan.

Tapi tidak ada yang bisa kulakukan selain duduk menunggu ojek ini tiba di depan rumahku. Rasa gatal itu belum menyerang sekarang, mungkin menunggu tidak terlalu banyak angin. Masih butuh waktu sekitar 15 menit untuk tiba. Aku menoleh ke belakang, dengan takjub mendapati bulan purnama seperti membuntuti. Purnama itu agak blur, karena seakan terhaluskan oleh awan-awan tipis dari pandanganku. Ia bulat penuh tanpa cacat. Mungkin ini malam keduanya, karena biasanya pada malam kedua purnama datang ia mencapai bentukan paling sempurnanya, sebelum malam ketiga yang anti-klimaks.

Aku tiba-tiba teringat pada namaku. Rahmah Were Uleng Taufik. Aku memiliki satu kata yang similar dengan nama bulan. Uleng, itu bahasa bugis untuk bulan. Setauku, aku memang lahir pada malam hari, tapi entah sedang purnama atau tidak. Yang jelas arti namaku itu adalah rahmat Tuhan yang diberikan bulan. Purnama itu sedang memancarkan pesonanya, tidak terlalu tajam namun halus penuh kekuatan. Aku pun ingin bercermin pada bulan. Ingin bisa memahami apa yang sedang disampaikannya, atau hanya sekedar memberi tahu pada bulan ingin apa aku ini.

Menatap purnama selama beberapa saat membawaku pada lorong waktu hingga ke tujuh tahun yang lalu. Saat itu aku di tahun pertama kuliah di jurusan teknologi pertanian. Pendahulu-pendahuluku tidak bohong, kalau ospek di jurusan-jurusan eksakta tidak pernah ramah pada pendatang baru. Itu bisa kubuktikan dengan minggu-minggu berat di awal kedatangan kami anak-anak baru. Belum masuk masa ospek, kami sudah disuguhi hantaman-hantaman ala senior, baik itu lewat caci maki, pertemuan lengan dengan sandal gunung, sampai kaki salah satunya mendarat di pahaku. Jangan tanya kenapa saat itu pertahananku runtuh, aku menangis dengan harga diri yang terinjak seperti pahaku.

Tapi tidak selamanya hal berat itu adalah penderitaan. Selepas ospek, memang semua tidak langsung berjalan mudah. Penyesuaian adalah masalah utama bagi pendatang baru. Dan kami mulai disiapkan untuk sesuatu yang besar, dan itu bukan tawuran seperti yang jadi trend di masa itu dan sebelumnya. Sebulan penuh kami semua digembleng untuk melakukan hal yang biasanya jarang aku lakukan. Olah raga.... Tidak main-main ternyata para senior itu. Kami harus berlari mengelilingi kampus unhas tiap hari. Kalau hari ini jadwalnya sore,besok artinya siap-siap tiba di kampus jam 5 subuh. Bagian lari subuh yang sangat berat. Beruntung salah satu teman sma yang satu jurusan denganku berbaik hati mengantar jemput, sore ataupun subuh. (terimakasih Ricky)

Tapi itulah yang aku nikmati. Memaksa diri untuk melawan semua kemalasan yang bersarang dan mengendap selama ini, setidaknya untuk sebulan kedepan. Track lari setelah dua minggu mulai makin jauh. Kali ini, bukan hanya berlari di dalam kampus unhas, tapi juga berlari mulai dari dalam hingga ke luar kampus. Setelah sebulan, hasil evaluasi dari program itu keluar. Aku ditempatkan di kelompok jalur pos 7. Oh iya, sudahkah aku sebutkan kami akan ke mana? Kami akan mengadakan perjalanan menuju Ramma', lembah Gunung Bawakaraeng. Bagian terbaiknya adalah itu pertama kalinya perjalananku yang betul-betul bersentuhan langsung dengan alam. Api semangat telah tersulutkan semakin besar.

Dua hari dua malam perjalanan yang kami harus tempuh untuk tiba di tempat itu. Semakin jauh, semakin curam saja kemiringan lereng dan pendakian kami. Hari pertama lancar. Pos 1 mempertemukan kami dengan hamparan perkebunan kol dan sayuran lainnya yang siap dijual keluar Malino. Bersamaan dengan pertemuan kami dengan hutan pinus pertama yang tentu saja diselimuti kabut dan embun yang mendukung hawa makin dingin. Selama perjalanan kami sekelompok kadang bercerita, kadang pula hanya berjalan dalam diam. Sambil sesekali memakan gula merah atau minuman stamina untuk menambah laju. Hari kedua pun makin seru. Memasak dengan parafin atau kompor kupu-kupu sampai hampir membakar habis tenda kelompok kami, menuruni bukit untuk tiba disungai, menunda mandi selama 3 hari karena kayaknya nda mungkin di atas sana, ataupun mencari celah waktu untuk mengambil nafas, menjadi detail-detail yang tak terlupakan.

Hari kedua kami sedikit lagi tiba di bawah sana, lembah yang kami tuju. Tapi melihat ke bawah, hanya awan rendah yang bisa kami saksikan menutupi lembah itu. Sesekali senior yang telah tiba lebih dulu memainkan lampu senter hingga menembus awan di atas mereka dan memberi kode pada kami yang akan turun. Kulirik kakiku, yang ternyata hanya melewati tanah selebar lebih dari 50 cm dan selebihnya di sebelah kiri kami adalah lereng yang tegak lurus dengan lembah itu. Cukup mengerikan jika membayangkan sedikit saja salah melangkah, entah akan ada dimana aku sekarang.

Ramma', itu nama lembah yang kami datangi. Daratan yang tidak terlalu rata menghampar luas dipagari pemandangan gunung Bawakaraeng dan bukit-bukitnya. Memotong di tengahnya sebuah sungai kecil dengan lebar sekitar lebih dari 1 meter saja, yang kutebak hulunya dari mata air di atas gunung sana. Saat kusentuh alirannya, begitu bening dan dingin. Kadang untuk memperoleh sebotol minuman dingin, kami tinggal menaruh botol berisi minuman selama beberapa menit di dalam aliran air sungai itu. Seperti berada dalam dimensi lain dunia ini, tempat itu begitu mendamaikan. Hijau lembah yang terselimuti rumput berpadu dengan kokoh lereng yang menjulang menopang daratan di atasnya, bak lukisan pemandangan dari tangan seorang profesional. Dan itu memang benar, Dia lah sang pelukis keindahan itu.

Tersadar aku, masih di atas ojek yang melaju dengan kecepatan rata-rata. Masih dengan serangga-serangga putih itu, namun Watansoppeng sudah dekat. Langsung kuucap janji itu pada hatiku. Tahun depan akan ada sebuah petualangan lagi, yang harus kulakukan sebelum memasuki petualangan lain yang baru dalam hidupku. Petualangan bersama orang-orang yang aku kasihi. Aku akan kembali ke tempat itu, bersama dengan mereka yang masih melakukannya hingga saat ini. Mereka pasti paham alasan yang sama dengan yang membawa mereka selalu ingin kembali ke sana. Dunia lain yang membebaskan, dunia lain yang menghapus batasan manusia dan alam, dunia lain yang membuat mereka ingin selalu bersujud, dan dunia lain yang selalu akan mereka simpan dalam hati dan kenangan mereka. Begitupun aku, jika hati lelah dengan kemunafikan dan ego yang lahir setiap hari dalam rutinitas, aku akan kembali ke sana. Tahun depan akan kunantikan purnama yang membuntuti ku ketika aku menoleh ke belakang, dan akan kuperlihatkan padanya langsung dunia lain itu agar kami bisa saling bercerita tentang keindahan.