Minggu, 28 November 2010

selamat jalan Om Pendeta....


Kala itu waktu shalat magrib telah usai, dan kumandang takbir memenuhi langit malam kota kecil ini, ketika kudengar suara di ujung telepon mengabarkan duka di sana. 

Saat ini aku telah berdomisili kembali di kota kelahiranku selama lebih dari enam bulan, setelah bertahun-tahun mendiami ibukota propinsi untuk menuntut ilmu dan menulis kisah hidupku di sana. Meskipun awalnya itu berat kulakukan, karena banyak orang yang berarti buatku ada di sana. Namun, aku harus pulang, menemani orangtuaku dan menjalankan tanggung jawab sebagai abdi negara di kabupaten tetangga. 

Di kota Makassar orangtuaku memiliki sebuah rumah yang dibeli dari hasil tabungan bertahun-tahun. Itu memang salah satu niatan mereka, untuk memiliki sebuah rumah meski mereka saat ini bertempat tinggal di Watansoppeng di rumah kakek-nenek ku. Kata mereka, itu untuk aku dan adikku. Karena kuliahku telah selesai dan Tuhan memilihkan Kota Sengkang sebagai “sumber nafkah” ku, maka kota besar itu kutinggalkan. Sebentar lagi adikku akan meninggalkan seragam putih abu-abu nya dan menjajal dunia mahasiswa. Mungkin dia yang akan meneruskan perjuanganku di kota itu, atau mungkin ia punya arah yang lain.

Rumah yang kumaksud ini berada di salah satu kompleks perumahan yang baru dibangun, mungkin sekitar 4 tahun yang lalu. Berdampingan dengan perumahan lama yang tepat berada di tengah lokasi perumahan itu. Perumahan baru itu juga belum dijejali ratusan rumah seperti kompleks-kompleks lama. Sepertinya memang baru ada sekitar puluhan rumah di dalam sana. Rumah ku salah satunya. Tapi sayangnya rumah ini baru kutempati setelah aku lulus kuliah, tepat nya akhir 2008, jadi aku tidak sempat merasakan menempati rumah itu sebagai seorang mahasiswi.

Pertama kali melihat lokasi perumahan itu masih dua atau tiga rumah yang berdiri. Rumahku belum utuh selesai begitu pula rumah lainnya. Tapi tepat di depan rumahku, sudah ada satu yang telah berdiri dan bahkan ditempati penghuninya. Tetangga kiri kanan rumah itu belum pula rampung. Masih sangat sepi kala itu, aku sempat berpikir bagaimana bila nanti aku tinggal di sini, kalau tetangga ku hanya ada satu? Tapi setelah menempati rumah ku itu, ternyata banyak rumah di sekitar yang telah selesai dan sudah ada beberapa keluarga yang jadi tetanggaku.

Tetangga di depan rumahku itu ternyata sebuah keluarga kecil. Seorang ayah, seorang ibu, dan dua orang anak perempuan mereka. Setelah berkenalan, masing-masing mereka cukup kami panggil dengan sebutan Om, Tante, dan Ellen serta adiknya (lupa namanya siapa). Ternyata lagi, si Om satu kampung denganku, dia juga berasal dari Watansoppeng. Sedangkan Tante aslinya dari Sangir. Mereka semua ramah dan penuh senyum ketika bertemu dengan kami. Tutur kata kedua orang tua ini, khususnya Om, sangat sopan dan lembut. Kemudian, aku pun tahu kalau Om ini adalah pensiunan tentara yang juga seorang pendeta. Keluarga ini pun sempat memelihara seekor anjing dengan indera yang cukup sensitif hingga ia bisa menggonggong sepanjang waktu.

Tante sering membawakan kue atau roti buatannya untuk kami di rumah. Meski awalnya ada yang ragu untuk mencicipi, namun segera kami tepis, dan dengan niat bahwa penghargaan untuk pemberian seseorang itu sangat penting. Sering pula ketika bertemu di depan rumah, kami sekedar bercakap-cakap seadanya tentang keadaan saat itu, atau tentang keluarga mereka dan keluarga ku. Ketika Ellen menikah, kami sekeluarga (bapak dan mama khusus datang dari Watansoppeng untuk menghadirinya) serta beberapa tetangga datang ke hotel tempat acara itu berlangsung. Mengingat semua kebaikan dan keramahan keluarga ini, tidak ada alasan untuk tidak datang di acara tersebut.

Dan pada tanggal 16 November lalu, tepat ketika takbir menjelang Idul Adha berkumandang, sebuah kabar menyedihkan disampaikan sepupuku via telepon. Om Pendeta berpulang kemarin malam.  Entah karena sakit atau penyebab lain, yang pasti tidak akan ada lagi senyum dan sapaan ramah dari om pendeta. Tiba-tiba saja terlintas semua kejadian dalam memori ku yang mengingatkan pada Om Pendeta. 

Bagaimana seorang yang berbeda keyakinan, bahkan seorang pemimpin dalam kaumnya begitu menghargai orang lain. Tidak pernah tampak keraguan di mata seorang pendeta ini untuk menjalin hubungan yang baik dengan orang-orang di sekitarnya. Aku bisa langsung menebak, kalo Om Pendeta ini juga seorang Bapak penyayang yang penyabar bagi keluarganya, dengan tutur kata yang lembut dan menunjukkan kebijaksanaan.

Selamat jalan Om Pendeta, semoga semua kebaikan mu bisa dicontoh oleh banyak manusia di muka bumi ini. Di mana perbedaan buatmu bukan lah sebuah tembok pemisah, namun menjadi sebuah ruang untuk membuka hati bagi begitu banyak kebaikan untuk dibagi, tanpa syarat apapun......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar